Dari Tiongkok ke Habaib: Narasi Kebencian yang Membusuk
Senin, 21 April 2025
Faktakini.info
Dari Tiongkok ke Habaib: Narasi Kebencian yang Membusuk
Oleh: Muhammad Ba'agil
Keputusan Presiden RI No. 12 Tahun 2014 yang mengganti istilah “Cina” menjadi “Tiongkok” adalah langkah simbolik penting untuk menghapus diskriminasi terhadap etnis Tionghoa. Ironisnya, kebijakan ini justru memantik gelombang baru politik identitas yang kini menjurus pada ujaran kebencian, teori konspirasi, dan gerakan anti-etnis yang membusuk di ruang publik.
Pasca-keputusan itu, media sosial menjadi panggung kebencian. Awalnya, serangan diarahkan kepada mereka yang dianggap “keturunan asing”. Namun, dalam tiga tahun terakhir, kelompok Habaib menjadi target baru: dicibir, direndahkan, dan dijadikan bulan-bulanan oleh para juru moral dadakan. Kebencian kini tampil vulgar, tanpa malu, bahkan menjijikkan. Klaim budaya dan nasab bukan lagi ruang edukasi, melainkan senjata untuk menabur prasangka. Ini bukan sekadar keributan digital, ini adalah kejahatan sosial yang dielu-elukan oleh mereka yang lebih peduli pada garis keturunan orang lain daripada akhlak sendiri.
Habaib, yang secara historis berperan penting dalam penyebaran Islam dan membentuk karakter moderat bangsa, kini justru diposisikan sebagai ancaman. Nasionalisme diputarbalikkan menjadi alat eksklusi—siapa yang “berhak” menjadi bagian dari bangsa ini diatur oleh narasi sempit yang menyesatkan.
Lebih jauh, kelompok ini dicap sebagai simbol feodalisme agama, tuduhan yang sembrono dan bias. Kampanye kebencian ini bukan hanya merusak logika publik, tapi juga mengancam kohesi sosial. Narasi kebencian merambat ke ceramah, diskusi akademik, bahkan media arus utama, dan berpotensi memicu konflik horizontal yang mengerikan.
Ironisnya, negara yang dulu aktif menata simbol untuk menjaga harmoni sosial, kini tampak pasif. Ujaran kebencian dibiarkan meracuni ruang publik, mengoyak sendi-sendi keadaban. Jika dibiarkan, ini bukan soal beda pendapat, tetapi ancaman terhadap stabilitas nasional.
Sudah saatnya negara, tokoh masyarakat, dan media kembali menjaga memori kolektif bangsa yang inklusif. Perbedaan bukan ancaman, melainkan anugerah yang harus dirayakan bersama.
Jakarta, 20 April 2025