Damai Lubis Kritik Pencopotan Hakim MK dan Dampak Kepres No. 17 Tahun 2022

 




Ahad, 2 Oktober 2022

Faktakini.info 


*Putusan Politik DPR RI Pencopotan Hakim MK. Aswanto dan Pengangkatan Guntur Hamzah Cacat Hukum*

Damai Hari Lubis

Pengamat Hukum dan Politik Mujahid 212 


Terkait Hakim MK Aswanto yang dicopot oleh DPR RI, karena menganulir produk DPR RI. Dengan alasan yang disampaikan Ketua Komisi III DPR RI Bambang Wuryanto, atau Bambang Pacul

kepada Publik, soal pencopotan Prof Aswanto sebagai hakim konstitusi di Mahkamah Konstitusi (MK)."  merupakan keputusan politik".


Maka pendapat Bambang Pacul ini, adalah pendapat hukum yang mesti disingkirkan atau dikesampingkan, karena sesat dan menyesatkan, dan cacat hukum, oleh sebab tidak terdapat alasan hukum apapun yang dapat menanggalkan putusan Mahkamah Konstitusi/ MK yang bersifat final dan mengikat seperti layaknya undang -  undang, tanpa memiliki upaya hukum banding maupun kasasi


Dikarenakan oleh sebab hukum putusan MK. Final dan mengikat, maka pendapat anggota atau pendapat hukum atas nama DPR RI ini, justru bertolak belakang dengan prinsip daripada tupoksi Hakim MK, tentang kewenangan MK yang tertera pada Pasal 10 Undang-Undang Tentang Mahkamah Konstitusi/ MK, UU. RI. No. 7 Tahun 2020 Tentang Perubahan ketiga atas UU. No. 24 Tahun 2003 Tentang MK.( UU. MK.) Dan telah memenuhi unsur pada Pasal. 59 UU. MK. Bahwa secara hukum putusan MK jika sudah  berkesesuaian dengan proses acara dan setelah MK hasilkan  vonis atau putusan Judisial review/ JR. Maka sesuai  Pasal 10 terkait tupoksi hak menguji UU, dan Pasal 59 telah jelas, hakim MK dimaksud telah memenuhi Tupoksi. Yakni MK.Telah menyelesaikan pengujian undang-undang terhadap UUD. NRI Tahun 1945 berdasarkan pasal 10 lalu menyerahkan putusan sesuai pasal 59 kepada lembaga DPR. RI selaku badan legislasi/ legslatif


Bahwa dengan isi statemen Bambang Pacul, seolah, dirinya sebagai anggota dan  DPR RI sebagai kelembagaan ( parlemen ), Bambang Pacul ; 


1. Menganggap legislatif lebih tinggi kedudukannya daripada Yudikatif

2. Dirinya sebagai Anggota DPR RI tidak mengetahui  status hukum MK. sesuai sistim hukum;

3. Bambang Pacul tidak pahami fungsi dan hak dasar Para Hakim sesuai asas hukum, yang memiliki hak sebagai alat sosial kontrol dan temuan hukum ( rechtvinding )

4. Tidak mengetahui Para Hakim memiliki hak untuk menggunakan hati nurani


Secara hukum, tugas pokok dan fungsi daripada Para Hakim MK. harus mematuhi prinsip prinsip hukum yang terdapat di dalam UU. MK, diantaranya selain melaksanakan fungsi keadilan atau gerechtigheid, dan vonis juga berfungsi sebagai bentuk Kepastian Hukum atau rechtmatigheit, maka dalam praktek pelaksanaan UU. MK, MK dapat memutuskan vonis dengan beberapa macam putusan ;


1. Batalkan atau revisi UU., yakni batalkan UU. Sebagian atau keseluruhan isi pasal atau hanya revisi pasal, atau memperbaiki dan atau memperluas makna isi pasal dan lain - lain,  sesuai objek JR. Maka dalam makna lebih tegas dan spesifik , MK dapat memberi putusan mengabulkan JR, atau menolak JR. Sebagian atau seluruhnya 


2. Kewenangan menggunakan Asas Notore feiten, atau faktor " adanya kesepengetahuan umum yang berkembang di masyarakat terhadap objek perkara JR, sehingga menjadikan notoire feiten sebagai alat bukti yang cukup, serta tidak perlu pembuktiannya lagi ". Dan hasilnya final dan mengikat


Hal ini, sebagai pelaksanaan asas hukum para hakim yang ada pada badan peradilan sebagai yang juga memiliki kewenangan sebagai fungsi sosial kontrol dan berhubungan erat pada putusan para hakim yang juga berfungsi sebagai temuan hukum, serta para hakim diperbolehkan oleh prinsip hukum dalam mengadili objek UU. Untuk membuat keputusan atau vonisnya dengan memakai atau mengunakan nurani mereka, hal hakim untuk menggunakan selain alat alat bukti sesuai persyaratan Proses beracara MK. dan syarat formil dan materil pengujian oleh MK, terhadap JR. Yang disampaikan oleh para penggugat atau pemohon JR. Selain, terkait persyaratan ini terdapat dalam UU. MK. Pada Pasal 28 sampai dengan Pasal 64, Bagian Umum Tentang Hukum Acara, dan terkait alat bukti atau proses hukum persidangan sejak awal sampai dengan proses putusan dan atau bunyi putusan


Selanjutnya perihal asas untuk para hakim yang berkewenangan menggunakan fungsi sosial kontrol, temuan hukum, serta hak berdasarkan hati nurani merujuk atau berdasar prinsip secara pilosofis atau filsafat moral yang sudah ada dikaji sejak abad 13 jamannya Thomas Aquino dan juga sebagai pertimbangan hukum yang selalu digunakan oleh Tokoh Hukum Indonesia Hakim Alm. Bismar Siregar dalam berbagai putusannya, oleh sebab prinsip tentang keadilan yang harus ditegakan, dan hal nurani ini adalah sebuah nilai filsafay moral yang terdapat dalam kandungan sumber hukum NRI. bahwa Para Hakim harus tunduk, dan patuh dalam pemaknaan Kebebasan Hakim dalam memutus perkara dan hakekat keadilan yang harus dicapai, sesuai Pasal 24 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 ( pasca Amandemen), yang isinya menegaskan sifat dan karakter kekuasaan kehakiman yang prinsipnya menyatakan : 


“ Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka *untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”,*


Dan anggota DPR RI menurut UUD. 1945, dan juga selaku badan legislatif , tidak memiliki hirarkis yang lebih tinggi kedudukannya dari Para Hakim selaku yudikatif, sehingga pemberhentian atau pencopotan oleh DPR RI kepada Hakim MK. Aswanto, tidak memiliki legalitas, dan melanggar ketentuan pada syarat formil dan materil hukum sesuai perihal pemberhentian hakim MK. Vide Pasal 22 dan Pasal 23 UU. Tentang MK. Oleh sebab hukum dan oleh karenanya, walau pemberhentiannya  dengan dalil menggunakan keputusan politik sekalipun, seperti yang disampaikan oleh Bambang Pacul, namun segala keputusan yang diperoleh jika tidak berasaskan atau bertentangan dengan rujukan regulasi pada pasal 23 UU. Tentang MK. adalah cacat hukum, sehingga tidak berharga menurut hukum, maka berakibat batal demi hukum. Termasuk proses penggantian dan penggantinya Aswanto , selaku Hakim, oleh Komisi III DPR RI yaitu Guntur Hamzah adalah cacat menurut hukum atau tidah sah menurut hukum





Referensi - referansi Hukum :


Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Pasal 24 ayat ( 1 ) "bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan."


UU.MK



Wewenang MK

Pasal 10  ayat (1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat 

pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final 

untuk: 

a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang 

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 

b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang 

kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar 

Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 

c. memutus pembubaran partai politik; dan 

d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. 

(2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas 

pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden 

diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa 

pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, 

tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, 

dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden 

dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam 

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 

1945. 

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa: 

a. pengkhianatan terhadap negara adalah tindak pidana 

terhadap keamanan negara sebagaimana diatur dalam 

undang-undang. 

b. korupsi dan penyuapan adalah tindak pidana korupsi 

atau penyuapan sebagaimana diatur dalam undang-

undang. 

c. tindak pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang 

diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau 

lebih. 

d. perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat 

merendahkan martabat Presiden dan/atau Wakil 

Presiden. 

e. tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau 

Wakil Presiden adalah syarat sebagaimana ditentukan 

dalam Pasal 6 Undang-Undang Dasar Negara Republik 

Indonesia Tahun 1945.


Pasal 23 ayat (1) Hakim konstitusi diberhentikan dengan hormat apabila: 

a. meninggal dunia; 

b. mengundurkan diri atas permintaan sendiri yang 

diajukan kepada Ketua Mahkamah Konstitusi; 

c. telah berusia 67 (enam puluh tujuh) tahun; 

d. telah berakhir masa jabatannya; atau 

e. sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus yang 

dibuktikan dengan surat keterangan dokter. 

(2) Hakim konstitusi diberhentikan dengan tidak hormat 

apabila:

a. dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan 

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum 

tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam 

dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; 

b. melakukan perbuatan tercela; 

c. tidak menghadiri persidangan yang menjadi tugas dan 

kewajibannya selama 5 (lima) kali berturut-turut tanpa 

alasan yang sah; 

d. melanggar sumpah atau janji jabatan; 

e. dengan sengaja menghambat Mahkamah Konstitusi 

memberi putusan dalam waktu sebagaimana 

dimaksud dalam Pasal 7B ayat (4) Undang-Undang 

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 

f. melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam 

Pasal 17; atau 

g. tidak lagi memenuhi syarat sebagai hakim konstitusi.

(3) Permintaan pemberhentian dengan tidak hormat 

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf c, 

huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g dilakukan setelah 

yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela 

diri di hadapan Majelis Kehormatan Mahkamah 

Konstitusi. 

(4) Pemberhentian hakim konstitusi ditetapkan dengan 

Keputusan Presiden atas permintaan Ketua Mahkamah 

Konstitusi. 

(5) Ketentuan mengenai pembentukan, susunan, dan tata 

kerja Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi diatur 

lebih lanjut oleh Mahkamah Konstitusi.


Pasal 59

 

Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian undang-

undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik 

Indonesia Tahun 1945 disampaikan kepada DPR, Dewan 

Perwakilan Daerah, Presiden, dan Mahkamah Agung.


...

Umat Keberatan dan Khawatir Terkait dan Dampak Kepres No. 17 Tahun 2022



Damai Hari Lubis


Pengamat Hukum dan Politik



Diantara tugas Komnasham adalah terkait penyelesaian perihal Pelanggaran HAM Berat pada Tahun  1965 yang korbannya adalah masyarakat umum dan korban terbesarnya adalah Anggota PKI , keluarga PKI. dan atau simpatisan PKI,  termasuk menuntut status kejelasan hukum terhadap PKI atau eks PKI, yang mana mereka  merasa sebagai korban fitnah oleh justru dalangnya PKI yang tersembunyi, sehingga mereka mungkin mendesak minta agar pemerintah " mengambil alih dari Komnasham "  secara transparan melalui pernyataan resmi dan atau menggunakan surat keputusan atau melalui kebijakan hukum dan atau keputusan politik dari Pemerintah Sah Negara RI. Yang isi atau materinya adalah atau penyelesaian permasahan atau permintaan maaf Pemerintah Pusat terhadap adànya peristiwa. Dan lalu Pemerintah berdasarkan TAP. MPR.No. XX/ Tahun 1966 menerbitkan Kepres NO. 17 Tahun 2020



Dan memang isunya yang sampai saat ini, terus terdengar dan berkembang, daripara aktivis Ham di tanah air, termasuk sebagian besar, yang merupakan keluarga dan keturunan atau eks anggota atau mantan ( anggota ) PKI, mereka tetap berdalih, melalui berbagai narasi, bahwa PKI hanya korban fitnah dan dalangnya yang mereka tunjuk seolah terhadap diri  " Pangkostrad Mayjen Soeharto, saat itu, termasuk ' Dewan Jendral' ", artinya yang secara fakta sejarah dan hukum, pelaku penghianat pada Gerakan Pembunuhan Para Jendral tersebut adalah PKI dengan dilebeli sebagai gerakan yang disebut G. 30 S. PKI , dan Para korbannya nota bene adalah Para Jendral yang sudah ditetapkan menjadi para pahlawan bangsa dan para gembong dari para tokoh PKI Yakni Aidit, Subandrio, dan Kolonel Untung dan kawan - kawan adalah sebagai penjahat bangsanya



Padahal yang mau dibunuh oleh PKI itu diantaranya seorang saksi hidup, saksi sejarah dan saksi fakta hukum, karena dirinya sebagai salah seorang korban, dengan pangkat Jendral, seorang yang sempat terluka, namun lolos dari upaya pembunuhan yanh dilakukan oleh PKI melalui satuan atau kelompok militer Cakrabirawa, pasukan elite pengawal presiden yang loyal atau pro PKI, Beliau Alm.Jendral A.H. Nasution baru wafat pada 9 September 2020, bagimana secara nalar sehat Beliau yang korban namun dapat lolos dari pembunuhan malah menjadi salah seorang yang diindikasikan sebagai salah seorang anggota dari dewan jendral sebagai tokoh pelaku pada Gerakan 30 September ? Atau yang dikenal secara umum dan buku sejarah bangsa, sebagai Penghianatan  G.30 S. PKI, dan fakta hukumnya Beliau masih dapat memberikan bukti dan kesaksian saat hidupnya di peradilan atau persidangan  & anaknya pun menjadi fakta dan bukti hukum, telah menjadi korban meninggal yang di tembak oleh ( tentara ) PKI secara biadab pada malam 30 September 1965 atau yang dikenal sebagai gerakan G. 30 S. PKI



Sekedar catatan penulis selaku pengamat : " Koq Eks Anggota PKI melakukan upaya framing rekayasa pelakunya,  punya kemiripan dengan playing victim terhadap tragedi extra judicial killing atau peristiwa pembantaian 6 Mujahid yang tewas di KM. 50 dan pembunuhan Brigadir Joshua yang data hukumnya Para Korban justru '  telah ' atau akan dijadikan TSK ? "



Maka kepada Menkopolhukam Prof. Moh.Mahfud MD, publik himbau jangan sampai pemerintah yang "beritikad baik ", melalui kebijakan solusi hukumnya, bermaksud penyelesaiannya melalui permintaan maaf kepada PKI. Namun bagaimana status hukum Pemerintah RI yang tidak atau belum ada permintaan maaf kepada keluarga korban dari perbuatan PKI yang nyata banyak korban nyawa rakyat ( para ualma, para santri dan oara tokoh masyarakat dan keluarganya )  yang amat tercederai dan juga secara umum permohonan maaf terhadap bangsa ini secara fakta hukum dan sejarah, walau sudah cukup bukti hukum dengan ditandai adanya fakta terbitnya sistim hukum yang melarang PKI dan atau Komunisme digunakan dan atau larangan untuk disebar luaskan faham dan ideologinya kepada bangsa ini ( Bukti hukum lahirnya TAP MPRS RI No. XXV Tahun 1966 Jo. UU. RI. No. 27  Tahun 1999 ). Kemudian resiko hukumnya adalah, terhadap Pemerintah RI tentu absah didesak kelak oleh sekelompok golongan dari para eks anggota, simpatisan dan kelurga PKI, atas dasar logika hukum pasca terbitnya surat permintaan maaf pemerintah RI, permintaan maaf yanh subtansinya terkait pelanggaran yang dilakukan oleh Pemerintahan Pusat RI, melalui surat keputusan apapun bentuknya UU. dan atau Perpres, berdasarkan Pasal 4 ayat 2 UUD. 1945, mereka sah jika berinisiatif mendesak pemerintah baik secara non litigasi dan atau litigasi agar Pemerintah RI mencabut TAP. MPR. No.25 Tahun 1966 dan rujukannya UU.Terkait larangan penyebaran komunisme a quo, lalu bagaimana pula jika datang inisiatif dari para korban eks PKI dengan gagasan; agar terhadap Mantan Presiden Soeharto dan A. Yani, Nasution Dan Kawan - Kawannya dicabut secara hukum terhadap gelar kepahlawannya, tentunya secara hukum memungkinka para pahlawan menjadi para penjahat bangsa oleh sebab causalitas dari adanya bukti permohonan maaf  Pemerintah RI. Atau mutatis mutandis dapat dimaknai secara hukum sebagai hal yang cukup objektif dari sisi kacamata hukum, oleh sebab hukum surat yang lahir dari Pemerintah RI memiliki kwalitas hukum dan merupakan awal daripada faktor pemulihan nama baik Orspol PKI



Selanjutnya, andai Pemerintah RI telah menerbitkan surat resmi permohonan maaf kepada Keluarga PKI, lalu oleh sebab hukum dinyatakan bahwa para jendral merupakan pelaku fitnah terhadap PKI.    



Maka , terkait Kepres No. 17 Tahun 2022 Tentang Penyelesaian Non - yudisial Pelanggaran HAM yang Berat, Masa Lalu,  jika penguasa pemerintahan Presiden Jokowi , dibawah Penanggung Jawab Moh. Mahfud Md selaku Menkopolhukam, ideal untuk ekstra gunakan akal sehat, serta prinsip kehati-hatian, jangan sampai Kepres malah melahirkan impact atau saling tubrukan, sehingga Kepres berbuah kegaduhan serta   perpecahan antar anak bangsa dan ummat beragama di tanah air , walau pemerintah berpegangan pada asas hukum UU. RI. Tentang HAM. UU. RI. No. 39 Tahun 1999. Jika memang subtansial Kepres ini diperuntukan khusus atau diantaranya penyelesaian dan permintaan maaf terhadap Keluarga Korban atau anggota dan atau simpatisan PKI. Karena isu atau persepsi publik atau umat muslim bangsa ini, yang sudah cukup lama berkembang, bahwa ditengarai ada aroma kental kebangkitan PKI di negara ini, ditandai oleh pasca lahirnya RUU.HIP ( Rancangan UU. Haluan Ideologi Pancasila ), pada 12 Mai 2020 yang tentunya penguasa pemerintahan pun mengetahui, bahwa RUU. HIP tesebut mendapat reaksi dan banyak aksi demontrasi massa dengan narasi keras penolakan daripada mayoritas umat bangsa ini, serta Lintas Sara dan disusul resmi penolakan  oleh MUI melalui Maklumat MUI Tertanggal 15 Juni 2020, No.1240/ DP./ MUI/ VI/ 2020, yang isinya antara lain MUI akan siap serta menggalang Masiroh Kubro serta akan menunjuk Panglima dan Wakil Panglimanya, dengan prediksi MUI akan terhimpun 80 % ummat islam di negara ini untuk turun kejalan demi penolakan RUU. HIP atau membatalkan rencana pengesahan terhadap RUU. Untuk di sahkan menjadi UU. HIP. Sehingga bukti hukum pemerintah tidak berani mengesahkan RUU. HIP setelah lewat waktu 30 hari *merujuk vide UU. Tentang MD. 3 UU. RI. No. 13 Tahun 2019, serta menjadi pertanyaan kerancuan keberlakuan UU. menurut Sistem hukum RI.* Jadi isu Kepres ini tentunya isu hot dan amat senitif bagi Penguasa dan Umumnya bangsa ini, pastinya akan berhubungan erat dengan  maklumat MUI perihal Masiroh Kubro dan jangan lupa Penyelenggara Pemerintah Pusat atau Jokowi berikut isi Kabinet Indonesia Maju Jilid II, harus konsentrasi dan tingkatkan kewaspadaan terciptanya kerawanan dalam konteks rekayasa dan propoganda politik dan hubungannya antara akselerasi isu politik, jelang ajang Pilpres 2024.



Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel