Ayah Laskar FPI: Sidang Dagelan! Korban Pembunuhan Masih Saja Difitnah Meski Telah Beda Alam

 


Selasa, 19 Oktober 2021

Faktakini.info, Jakarta - Ayah dari salah seorang korban, Ustadz Syuhada menanggapi hasil sidang terdakwa pembunuhan enam Laskar FPI di KM 50 Tol Jakarta-Cikampek di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (18/10/2021). 

Mantan ketua dewan pimpinan Front Pembela Islam (FPI) Jakarta Selatan itu menyebutnya sebagai sidang manipulasi lantaran digelar di pengadilan negeri, bukan di pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM).

Ustadz Syuhada merupakan orang tua dari salah satu laskar korban tragedi KM 50, Faiz Ahmad Syukur. 

"Sidang manipulasi. Sidang abal-abal itu tidak akan sedikit pun memenuhi rasa keadilan rakyat, malah justru sebaliknya, semakin menambah kezaliman kalian di mata rakyat," kata kata Syuhada melalui pesan elektronik kepada Republika.co.id, Selasa (19/10/2021).

Menurut Syuhada, kalau mau adil, mestinya yang disidang adalah Kapolda Metro Jaya Irjen Muhammad Fadil Imran dan Pangdam Jaya Mayjen TNI Dudung Abdurachman. "Sidangnya bukan di pengadilan negeri, tapi di pengadilan HAM," katanya. 

Syuhada mengatakan, sidang seharusnya dilakukan atas penyiksaan dan pembunuhan di luar hukum (extra judicial killing), yang berarti proses hukuman mati tanpa proses pengadilan. Sebab, kata dia, enam laskar FPI itu disiksa dan dibantai langsung dalam peristiwa KM 50 tersebut.

Tidak hanya itu, Syuhada menyebutkan, para korban laskar itu masih saja difitnah meski telah berbeda alam kehidupan. Seperti dalam pernyataan yang disampaikan oleh kuasa hukum kedua terdakwa bahwa petugas polisi diserang oleh anggota Laskar FPI saat melaksanakan tugas pemantauan hingga akhirnya peristiwa penembakan terjadi.

Anggota Laskar FPI disebut berupaya merebut senjata terdakwa. "Perekayasa sidang dagelan tersebut dan semua yang terlibat, otomatis memilih sendiri untuk berdiri di barisan para penyiksa dan pembunuh 6 Laskar FPI, sehingga mereka pun berhak menikmati QS Annisa ayat 93, Inshaa Alloh," tambah Syuhada.

Eks Sekretaris Umum Front Pembela Islam (Sekum FPI) Haji Munarman telah  membantah tudingan bahwa anggotanya dibekali senjata, apalagi senjata api (senpi). Ia menyatakan hoax itu adalah fitnah besar. 

"Fitnah besar kalau laskar kita disebut membawa senjata api dan tembak-menembak. Fitnah itu," ujar Munarman dalam konferensi pers, Senin (7/12/2020).

Ia melanjutkan, FPI tak pernah membekali anggotanya dengan senjata tajam karena mereka terbiasanya menggunakan tangan kosong untuk menyelesaikan masalah yang mengancam keselamatan. 

Munarman saat itu menyebut keterangan polisi soal adanya senjata yang dikuasai anggota FPI adalah upaya memutarbalikkan fakta.

"Laskar kami tidak pernah dibekali senjata api, kami terbiasa tangan kosong. Kami bukan pengecut. Jadi fitnah, dan ini fitnah luar biasa, memutarbalikkan fakta dengan menyebutkan bahwa laskar yang lebih dahulu menyerang dan melakukan penembakan," tegas  Munarman.

Sebelumnya, JPU menjerat terdakwa pembunuhan Laskar FPI di KM 50 Tol Japek, yakni Briptu Fikri Ramadhan dan Ipda Yusmin Ohorello dengan sangkaan Pasal 338 KUH Pidana dan Pasal 351 ayat (3) KUH Pidana juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana. Keduanya terancam hukuman penjara antara 7 sampai 15 tahun penjara.

Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan Enam Pengawal HRS (TP3) sebelumnya juga telah menyatakan persidangan ini seolah-olah merupakan proses hukum acara pidana yang wajar, namun sebenarnya merupakan suatu upaya manipulasi untuk menutupi kejahatan yang sesungguhnya.

“Peristiwa yang sesungguhnya terjadi adalah bahwa aparat negara yang terlibat dalam kejahatan telah melakukan “crime against humanity”, atau kejahatan terhadap kemanusiaan yang merupakan pelanggaran HAM berat,” ujar Ketua TP3 Abdullah Hehamahua dalam pernyataan tertulisnya pada Jumat (8/10/2021).

Dengan adanya rencana persidangan tersebut, TP3 menilai ada upaya dari pemilik otoritas untuk memuaskan tuntutan keadilan masyarakat atas kasus ini.

“Padahal yang terjadi justru rezim sedang berusaha melindungi dan menutupi pihak yang seharusnya bertanggung jawab atas pembunuhan tersebut. Inilah yang dimasud oleh Buku Putih TP3 sebagai “operation cover up”, jelas Abdullah.

TP3 menilai, pembunuhan yang menurut UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan prinsip-prinsip keadilan yang berlaku, seharusnya diproses melalui Pengadilan HAM.

“Terlihat jelas sedang direkayasa sedemikian rupa, sehingga kejahatan kemanusian yang sistematik dan brutal tersebut hanya dikategorikan sebagai kejahatan biasa, dan diproses oleh PN Jakarta Selatan,” ungkap Abdullah.

Hal ini, kata dia, merupakan bukti bahwa upaya tersebut merupakan bagian dari rencana sistematis, upaya cover-up, menutup-nutupi kejahatan sebenarnya, paska pembunuhan sadis dan melawan hukum (extrajudicial killing).

Bertolak dari fakta bahwa ternyata tersangka pada perkara pembunuhan tidak ada yang ditahan, bagi TP3 dan pemilik akal sehat, sudah merupakan bukti tersendiri bahwa perkara ini adalah perkara yang direkayasa atau difabrikasi seperti halnya sebuah sinetron atau drama misteri.

Foto: Faiz Ahmad Syukur korban pembunuhan di KM 50

Sumber: republika.co.id dan lainnya

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel