Musim Diskon Hukuman untuk Koruptor, Aktivis Sampai Geleng-geleng

 


Senin, 2 Agustus 2021

Faktakini.info, Jakarta -  Fenomena pengurangan hukuman koruptor saat ini marak terjadi. Terbaru, hukuman Djoko Tjandra alias Tjan Kok Hui alias Joko Soegiarto Tjandra dan Pinangki Sirna Malasari.

Djoko Tjandra hukumannya disunat Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta dari 4,5 tahun penjara menjadi 3,5 tahun penjara. Sedangkan Pinangki Sirna Malasari awalnya dihukum 10 tahun penjara tapi disunat oleh Pengadilan Tinggi Jakarta menjadi 4 tahun penjara.

Sebenarnya tidak hanya kedua orang itu yang terbukti korupsi, tetapi hukumannya dikurangi. Sebagaimana catatan KPK, pada 2020, KPK mencatat ada 20 perkara koruptor yang ditangani KPK hukumannya dikurangi oleh Mahkamah Agung (MA).

Salah satunya mantan anggota Komisi V DPR, Musa Zainuddin, dari 9 tahun penjara menjadi 6 tahun bui. Padahal, menurut KPK, Musa terbukti menerima suap terkait pembangunan jalan Taniwel-Saleman senilai Rp 56 miliar dan rekonstruksi Piru-Waisala Provinsi Maluku Rp 52 miliar dalam APBN Kementerian PUPR 2016.

Kemudian ada pengacara kondang OC Kaligis, vonis OC Kaligis yang sebelumnya ditetapkan 10 tahun penjara, dipotong oleh MA menjadi 7 tahun penjara. OC Kaligis dinyatakan terbukti menyuap majelis hakim dan panitera PTUN di Medan sebesar USD 27 ribu dan SGD 5.000.

Lalu Irman Gusman terkait kasus impor gula semula oleh Pengadilan Tipikor Jakarta dihukum 4,5 tahun penjara. Setelah mengajukan PK ke MA, hukuman Imran dikurangi menjadi 3 tahun penjara.

Aktivis menilai diskon hukuman terjadi karena kurangnya semangat pemberantasan korupsi di peradilan Indonesia. Lalu sebenarnya apa penyebab terjadinya tren diskon hukuman koruptor ini?

Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas (Unand) Feri Amsari menilai penyebab maraknya pengurangan vonis koruptor di peradilan Indonesia dikarenakan tren peradilan Indonesia tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi. Hukuman yang dijatuhi untuk koruptor juga dinilai tidak memberikan efek jera.

"Ku pikir karena tren peradilan kita yang tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi, sehingga putusan-putusanya tidak tajam dan bergigi, alasannya seringkali janggal," kata Feri Amsari, Jumat (30/7/2021).

Feri kemudian menyoroti alasan pengurangan hukuman Djoko Tjandra di PT DKI, dimana alasan yang meringankannya karena telah menjalani pidana penjara pada kasus cessie Bank Bali dan telah menyerahkan uang ke negara sebesar Rp 546 miliar. Feri menilai alasan meringankan seperti itu tidak biasa terjadi.

"Misal dalam kasus Djoko Tjandra alasan pengurangannya masa pidana karena Djoko Tjandra pernah menjalani hukuman dalam kasus lain, yaitu kasus BLBI, padahal dalam berbagai peradilan kalau ada residivis pelaku kejahatan berulang itu menjadi alasan memberatkan, kenapa? Alasan yang memberatkan dalam kasus peradilan lain ternyata di dalam peradilan tipikor masih menjadi alasan atau hal meringankan bagi terpidana," ungkap Feri.

"Jadi saya melihat ini bukan karena faktor hakim tidak pintar, tidak memiliki pengetahuan hukum tetapi proses ini lebih banyak nilai-nilai yang janggal, yang patut dipertanyakan sehingga mestinya KY memeriksa apakah putusan peradilan ini dilakukan dengan cara sebagaimana ditentukan taat beretika dan taat perundang-undangan," lanjutnya.

Hal senada disampaikan Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenur Rohman, menurutnya ada tiga faktor penyebab pengurangan hukuman bagi koruptor yakni tak ada lagi Artidjo Alkostar di tingkat peradilan, melemahnya KPK karena kepemimpinan Ketua KPK Firli Bahuri, dan juga adanya revisi UU KPK.

"Menurut saya alasan diskon hukuman tidak tunggal, kalau secara hukum itu kewenangan majelis hakim tapi saya melihat bahwa adanya tren pengurangan hukuman itu juga terkait kinerja lembaga pemberantasan korupsi yang disebut KPK. Lembaga KPK kinerjanya telah turun drastis di bawah kepemimpinan Firli Bahuri, itu bisa ditunjukkan dengan tidak ada kasus strategis yang ditangani, berkurangnya angka OTT, dan juga dibarengi revisi UU KPK yang telah membuat KPK tidak efektif dalam upaya pemberantasan korupsi," ujar Zaenur.

Menurut Zaenur, ada hubungan antara kinerja KPK dengan merebaknya diskon hukuman bagi koruptor. Dia melihat saat ini semangat pemberantasan korupsi di Indonesia sudah mulai luntur.

Zaenur juga menilai KPK saat ini telah kehilangan wibawa karena banyak skandal di internal KPK. Tingkat kepercayaan masyarakat ke KPK juga dinilai telah menurun.

"Saya lihat KPK saat ini tidak cukup disegani bagi lembaga lain termasuk lembaga hukum selain KPK. Jadi saya berpendapat bahwa melemahnya pemberantasan korupsi oleh KPK itu tidak hanya sekedar mempengaruhi buruknya kinerja KPK tapi juga berpengaruh pada lembaga penegak hukum yang lain," kata Zaenur.

Terkait tren pengurangan hukuman bagi koruptor, Zaenur menyebut ini seakan-akan menghilangkan efek jera kepada koruptor agar tidak bertindak semena-mena. Dampaknya pelaku koruptor akan semakin banyak karena tidak adanya efek jera.

"Saya melihat bahwa efek yang bisa timbul dari diskon hukuman para pelaku tindak pidana korupsi adalah semakin hilangnya efek jera, jika efek jera hilang dan juga KPK sudah tidak memiliki kewibawaan deterrent effect maka yang dikhawatirkan para calon, para penyelenggara negara dan pihak lain semakin berani melakukan korupsi," ungkapnya.

"Karena kemungkinan terungkapnya kecil dan juga kalaupun terungkap maka risiko pidananya relatif rendah, dan masih ada kemungkinan untuk dapat banyak keringanan dengan mengajukan upaya hukum di pengadilan melalui banding, kasasi dan PK di MA, maupun nanti jika sudah menjalankan pidana di Lapas masih berkesempatan untuk mendapat pengurangan seperti remisi," lanjutnya.

Foto: Tjan Kok Hui alias Djoko Tjandra

Sumber: detik.com


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel