Damai Lubis: Jika Jokowi uzur hingga 2027 Gibran gantikan saksi korban "ijazah palsu" atau tunda sidang
Jum'at, 21 November 2025
Faktakini info
Jika Jokowi uzur hingga 2027 Gibran gantikan saksi korban "ijazah palsu" atau tunda sidang
Damai Hari Lubis
Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
Perspektif terminologi hukum terkait "saksi" dalam hubungannya dengan proses penegakan hukum pidana, makna acuannya terdapat pada beberapa pasal KUHAP yang "unsur unsur kesaksian dari saksi korban dimaksud" wajib diminta diberlakukan oleh para penegak hukum, yakni Hakim, JPU dan Aparat Penyidik serta Advokat, semata demi kepastian hukum dan rasa keadilan sehingga urgensi saksi dan kesaksian dapat menjadi pedoman pertimbangan hakim untuk menjatuhkan vonis terhadap sebuah perkara.
Maka terkait kondisi proses perkara tindak pidana atas laporan Jokowi di Reskrimum Polda Metro Jaya, info yang berkembang, Jokowi "bakal tidak bisa menghadiri jalannya persidangan di lembaga peradilan terhadap orang yang disangkakan telah menghinadinakan dirinya di lembaga peradilan".
Diduga Jikowi tidak bisa hadir sebagai saksi kotban lantaran atas saran dan petunjuk "orang pinter", dia harus beristirahat dan dirawat hingga tahun 2027.
Kembali soal saksi dan kaitanya terhadap *Keterangan Saksi Korban*, adalah sebagai salah satu alat bukti yang penting dalam perkara pidana. Jika saksi korban tidak hadir, maka perspektif logika hukumnya, bahwa keterangan mereka saksi atau saksi korban sebelumnya (BAP), tidak dapat digunakan sebagai alat bukti.
Ada beberapa pasal di KUHAP terkiat saksi dan kesaksian, yakni Pasal 1 angka 26. Bahwa "saksi adalah orang yang memberikan keterangan dalam perkara pidana karena diminta untuk itu, tentang apa yang diketahuinya, dilihatnya, dan dialaminya sendiri."
Juga Pasal 184 KUHAP yang menyatakan bahwa "keterangan saksi merupakan salah satu alat bukti yang sah dalam perkara pidana". Jo. Pasal 162 KUHAP yang mengatur tentang penundaan persidangan jika saksi tidak hadir, walau tidak eksplisit menyatakan, "bahwa jika saksi korban tidak hadir, maka perkara tidak dapat dibuktikan."
Demi fungsi hukum yang mengikat, pihak penyidik dan pihak JPU tentu saja tidak boleh memaksakan para TSK/ TDW untuk dilakukan penahanan dan penuntutan, jika sejak awal sudah diketahui saksi korban tidak bakal menghadiri persidangan, hal ini sebagai moralitas dan logika hukum conviction in time atau sebagai hak penggunaan hati nurani hakim atau hak subjektif hakim, karena hukum dan nurani tentu mencakup faktor moralitas, sesuai salah satu dari prinsip yang terdapat didalam KUHAP dan UU. Tentang Kekuasaan Kehakiman. Selain filosofis hukum mengatakan, "hukum tanpa moral adalah sis-sia belaka."
Memang asas hukum pidana menentukan bahwa ketentuan hukum pidana tidak dapat dianalogikan, namun perkara a quo in casu (causa tuduhan Jokowi Ijazah Palsu) membutuhkan ilustrasi atau kejelasan terhadap sebuah peristiwa hukum yang korbannya berhalangan hadir dalam jangka waktu lama, bahkan melewati masa proses persidangan pada tingkat pertama (judex facti ) pengadilan negeri dan pengadilan tinggi, dan juga cenderung melewati waktu proses hukum pada tingkat kedua atau terakhir (Judex Juris) Mahkamah Agung, maka analogi terhadap fungsi hakim sebagai alat konrol hukum, alat menemukan hukum disertai asas pro aktif dan progresif termasuk asas conviction intime atau hak subjektif hakim yang dihalalkan oleh sistim hukum dan perundang undangan yang mengacu kepada UU. Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Untuk itu Hakim yang menangani perkara sah menggunakan solusi hukum membuat putusan sela (tusshcen vonnis) berupa dismissal atau "penolakan untuk melanjutkan persidangan", andai benar selaku korban (Jokowi) bersikeras tidak mau hadir atau oleh sebab berhalangan tetap karena faktor uzur, atau majelis hakim badan peradilan sah berlaku progresif sesuai ketentuan hukum, menyatakan dalam putusan sela "saksi korban mesti diwakili oleh ahli warisnya Jokowi selaku korban prinsipal yakni Gibran dan atau Kaesang dan atau Kahiyang bin Joko Widodo, sesuai Pasal 110 ayat (2) KUHAP yang menyatakan bahwa "Jika pelapor meninggal dunia, maka tuntutan pidana dapat diteruskan oleh ahli warisnya atau kuasa dari ahli warisnya"
Solusi terkait "ahli waris" ini menurut pengamat pas untuk ilustrasi peristiwa hukum terhadap ketidakhadiran pelapor akibat uzur dengan perspektif implikasi 'terhalang oleh sebab meninggal dunia, artinya sama-sama bahwa korban delik oleh sebab sesuatu atau keadaan darurat atau dipastikan terhalang menghadiri persidangan, maka tuntutan pidana dapat diteruskan oleh ahli warisnya atau kuasanya.
_Maka alternatif ahli waris Jokowi Gibran dan atau Kahiyang dan atau Kaesang atau kesemuanya hadir bersama sama sebagai 'fungsi pengampuan' dari pihak korban (orang tua mereka) yang dihinadinakan serendah-rendahnya oleh publik "hingga saat ini di berbagai media sosial"_ *_namun luput dikembangkan oleh para penyidik, jika memang delik aduan bisa metamorfosis menjadi seolah delik umum,_* tentang Jokowi diduga kuat telah menggunakan ijazah palsu S-1 dari Fakultas Kehutanan UGM berdasarkan data empirik.
Atau opsi lainnya agar proses hukum tidak dijudge publik implementasi teori konspirasi atau wujud kriminilisasi akal akalan, untuk itu "majelis hakim mesti ideal untuk memerintahkan persidangan ditunda sampai batas waktu tertentu", sempai Jokowi dapat memberikan kasaksian sebagai korban, atas rekomendasi merujuk diagnosa medis (orang pinter), dan terhadap pelaksanaan opsi asas hukum ini, bukan lah langkah rule breakung, karena memiliki basis asas legalitas (rules), dan semata bertujuan agar proses pelaksanaan terkait perkara tuduhan ijazah palsu a quo in casu yang terbuka untuk umum isi vonisnya dapat memenuhi fungsi dan tujuan hukum yaitu legalitas (berkepastian hukum), bermanfaat (utilitas) dan iustitia atau berkeadilan (justice).
