Nota "Pembelaan" Damai Hari Lubis melalui klarifikasi BAP Kepada Penyidik. (Kasus Ijazah Jokowi)
Selasa 26 Agustus 2025
Faktakini.info
Nota "Pembelaan" Damai Hari Lubis melalui klarifikasi BAP Kepada Penyidik.
Kemarin Senin, 25/8/2025 di Reskrimum Polda Metro jaya, untuk kali kedua, yang pertama sebelumnya jumat 22 Agustus 2025 Damai Hari Lubis (DHL) menjalankan proses hukum sebagai salah seorang diantara 12 Para Terlapor pada tingkat Penyidikan terkait "tuduhan banyak publik 'Jokowi Ijazah Palsu' tanpa laporan Jokowi atau mungkin didasari laporan keliru oleh para *BUDJOK karena bermodalkan sejengkal intuisi,* atau kejelasan landasan hukum asal laporan tidak jelas, apakah berpedoman dari HIR atau RIB atau justru dari pasal UU. PAHUK alias KUHAP yang terbalilk.
Objektif saya sampaikan pola pemeriksaan Penyidik Reskrimum Polda terhadap diri saya berjalan normatif, profesional, proporsional dan friendly serta cukup presisi, tidak ada intimidasi sehingga akuntebel karena *'boleh dibilang tanpa'* pertanyaan yang mirip "jebakan kera".
Dalam Pembuatan BAP sejak pukul 10 Pagi hingga selesai penandatangan BAP pukul 22.30 saya didampingi oleh Arvid Saktyo Sekjen Korlabi (Koordinator Pelaporan Bela Islam dan Tim serta Rekan Juang Achmad Mihdan Ketua TPM/ Tim Pembela Muslim yang sempat mengunjungi Terlapor DHL diawal pemeriksaan serta moral support dari Azis Yanuar, Ketua API (Asosiasi Pengacara Islam).
*_Salah satu awal dari pertanyaan Penyidik kepada saya terkait; "apakah mengerti alasan pemanggilan sebagai Terlapor?"_*
Maka saya sampaikan dalam BAP bahwasanya "saya sangat tidak mengerti dari sudut pandang asas legalitas dan legal standing para terlapor, selain oleh sosok Jokowi, bekas Presiden RI ke 7, namun saya tetap akan menjawab seluruh pertanyaan Penyidik selaku aparatur negara, agar terang duduk perkaranya".
Selanjutnya saya berusaha kooperatif, dengan menjabarkan dalil-dalil hukum terkait asas-asas dan teori hukum sesuai pendapat tokoh besar ahli hukum terkenal di tanah air, yang umum pendapar mereka dijadikan sebagai dasar pijakan hukum pidana para kalangan aparatur penegak hukum, Penyidik, JPU Hakim dan Masyarakat Advokat dan Para Akademisi dibidang hukum pidana saat di kampus yang juga biasa dijadikan bahan sumber literasi *yaitu Pendapat dari R. Soesilo, Andi Hamzah, Yahya Harahap dan Subekti*, tentang asas hukum delik aduan absolut, *yang intinya tidak boleh proses pelaporannya dilakukan oleh Pelapor yang berdasarkan faktor pengembangan pihak lain model delik umum (biasa)* selain semata hak untuk melaporkan hanya dapat dilakukan oleh korban atau para korban langsung, *noktah*
Namun pada kenyataannya Jokowi ternyata bukan sosok (subjek hukum) korban yang melaporkan DHL melainkan para sosok yang tidak jelas asal usul legal standingnya alias *Para Pelapor antah barantah.*
Hal pelaporan ini terbukti atas dasar pernyataan transparansi kepada publik oleh Jokowi, "saat melaporkan saya tidak menyebut nama-nama". Sehingga eksplisit, bahwa Jokowi saat melaporkan ke reskrimum 'tidak menyebut nama-nama siapapun'.
Kemudian kemarin saya hubungkan dengan laporan Jokowi eks Presiden RI ke 7 yang saat ini masih "aktif" sebagai Pejabat Publik sesuai Keppres No. 30 Tahun 2025 Jo. PP. 10 Tahun 2025 dan perspektif hukum merujuk Pasal 30 UU. LPSK. Tentu Jokowi yang pejabat publik tidak memiliki hak melaporkan publik pelapornya. Terlebih isu atau tuduhan substansi publik terhadap prinsip penggunaan Ijazah palsu telah digunakan oleh Jokowi untuk persyaratan mengikuti Pencalonan Pilkada Surakarta, Pilkada DKI Jakarta dan Pemilu Pilpres 2014 dan 2019.
Lalu tidak lupa saya sampaikan dalil penutup yang berhubungan erat dengan 3 profesi saya yang riil disertai hak konstitusional sebagai WNI yang butuh 'disclaimer' berdasarkan sistim hukum, *_tidak diborong atau pukul rata._* karena para penuduh Jokowi pengguna ijazah palsu, realitas adalah publik (komponen masyarakat), maka representasi laporan Jokowi kepada Penyidik selain tidak memenuhi kualitas norma hukum (rules) juga tidak elok tendensius diarahkan emosinya spesial kepada kelompok "aktivis tertentu", maka selayaknya Jokowi menghormati rules sebagai 'rule of the game' dengan pola sederhana, Jokowi cukup memperlihatkan ijazah asli miliknya kepada publik sesuai ketentuan dan delegatif publik, namun nyata hal sederhana ini tidak pernah Jokowi lakukan sejak Persidangan di PN. Surakarta hingga vonis inkracht Mahkamah Agung perihal perkara Bambang Tri Mulyono dan Gus Nur (2022), Gugatan TPUA di Pengadilan Jakarta Pusat (2023) dan Pelaporan TPUA di Dumas Mabes Polri (2024) Jokowi yang melupakan gelar sebagai King lip of service lebih memilih melaporkan pasca suksesi kepemimpinan nasional.
Dan mengingat status profesi saya (DHL) adalah seorang Advokat Anggota Dewan Penasihat DPP. KAI (Kongres Advokat Indonesia) dan jurnalis selain menjabat Ketua Kabidhum dan HAM DPP. KWRI (Komite Wartawan Reformasi Indonesia) merangkap Ketua LPBH DPP. KWRI juga DHL adalah nara sumber dengan mendapat honorarium dari penyelenggara atau pihak pengundang acara diklat advokat dan diklat jurnalis, panitia pada acara diskusi atau debat publik (dialog-monolog).
Maka konklusi pertanyaannya akan sulit dijawab untuk dipahami dari sisi asas legalitas daripada teori hukum pidana, yakni, kenapa ada nama DHL sebagai salah seorang terlapor dan para terlapor lainnya?
Dampak resiko atau kausalitas hukumnya yang tidak mustahil terjadi, terkait teori asas hukum pidana tentang 'lapor melapor (splitsing)', seandainya para terlapor bukan didasari laporan Jokowi, sementara tuduhan representatif publik, adalah tentang "Jokowi pengguna Ijazah palsu S1 UGM".
Maka pertanyaan hukum yang akan hadir tanpa butuh memiliki iq tinggi adalah, "siapa subjek hukum Pelapor yang dapat dijadikan terlapor andai Para Terlapor ingin menggunakan hak lapor balik (splitsing) karena merasa teraniaya atau dirugikan atas adanya 'laporan awal' namun pelapornya tidak jelas identitas (fiktif) atau obscuri.
*Legal opini DHL* terhadap a quo in casu terkait TUDUHAN PUBLIK JOKOWI (DIDUGA) IJAZAH S-1 PALSU.
Terkait realitas surat pemanggilan penyidik sudah 'terlanjur' didasari pelaporan yang sifatnya kumulasi antara yang berhak melapor dengan yang tidak berhak melapor (delik aduan), tentu klacht delict ini akan merepotkan, karena adanya materi kalimat yang dicantumkan pada semua surat pemanggilan sejak klarifikasi hingga saat penyidikan, maka kelak harus tercantum pada surat dakwaan JPU.
Pastinya dalam semua berkas milik penyidik (pemberkasan) akan menjadi kesatuan dalam Berkas Perkara yang diserahkan oleh Penyidik kepada JPU dan salinan berkas dimaksud wajib identik isi maupun susunan berkas dan jumlah halaman, yang dimiliki oleh Hakim Majelis dan para terdakwa atau pengacara (tim advokasi) para terdakwa. Tentunya apabila hukum ditegakkan secara berkepastian (legalitas/ rechtmatigheid) oleh Hakim atau Majelis Hakim yang mengutamakan unsur fungsi hukum berlaku adil (gerechtigheid/ justice) konsisten terhadap peran wakil Tuhan Dmuka Bumi, maka andai lahir permohonan prapid dari Para Tersangka/ TSK tentu bakal dikabulkan oleh hakim tunggal prapid, atau eksepsi yang diajukan oleh Para Terdakwa/ TDW bakal memperoleh tussen vonnis (putusan sela) yang isinya SURAT DAKWAAN JPU. "OBSCURI LIBELLI", dan oleh karenanya oleh sebab hukum Para Terdakwa harus Bebas Demi Hukum.
Sehingga idealnya Jokowi selaku pemimpin bekas presiden atau siapapun para pelapornya juncto a quo in casu, lebih dulu secara pribadi melakukan aduan kepada organisasi Dewan Kehormatan DPP. KAI serta lebih dulu melakukan pengaduan kepada Majelis Kehormatam DPP KWRI untuk mengetahui apakah saya (DHL) benar telah melakukan pelanggaran etik selaku advokat penegak hukum sesuai pasal 5 UU. Advokat? Apakah saya melanggar etika profesi jurnalis. *_Terlebih sampai dengan saat ini hari ini, saya belum pernah ditegur baik lisan maupun tertulis baik oleh Bapak Sufmi Dasco selaku Ketua Dewan Pengawas DPP. KAI. Begitu pula oleh Ketum DPP. KWRI Bapak Ozzy S. Sudiro._*
Demikian, Damai Hari Lubis Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik) selaku seorang dari 12 Terlapor yang jatidirinya merupakan Aktivis Advokat dan Aktivis Jurnalis dan Nara Sumber.