Jangan Seret Nama Ba’alawi Lewat Tuduhan Komunis—Itu Fitnah, Bukan Fakta
Senin, 4 Agustus 2025
Faktakini.info
Tamzilul Furqon
"Jangan Seret Nama Ba’alawi Lewat Tuduhan Komunis—Itu Fitnah, Bukan Fakta"
📨Menjawab Tuduhan Miskin Logika Marwiah
Belakangan muncul satu narasi usang yang diangkat ulang: bahwa Haidar Abu Bakar al-Attas—mantan Perdana Menteri Yaman Selatan—adalah simbol "PKI-nya kaum Ba’alawi". Tuduhan ini dimanfaatkan oleh sekelompok orang yang ingin menggoyang fondasi nasab para sayyid, khususnya keturunan Ba’alawi, agar dianggap tercemar secara ideologi dan moral. Tapi narasi ini tidak hanya keji—melainkan juga ceroboh secara akademik dan gagal secara historis.
Mari kita luruskan.
Pertama, Haidar Abu Bakar al-Attas memang berasal dari keluarga Alawiyyin. Ia pernah menjabat sebagai Perdana Menteri Yaman Selatan (1985–1990) dan kemudian PM pertama Yaman Bersatu (1990–1994). Ia berperan penting dalam penyatuan dua negara Yaman yang sebelumnya terpisah karena kolonialisme. Apakah itu dosa?
Ya, Haidar terlibat dalam Partai Sosialis Yaman (YSP)—tetapi menilai YSP setara dengan PKI Indonesia adalah lompatan logika yang ngawur. Konteksnya jauh berbeda.
PKI Indonesia adalah partai komunis ateis yang terlibat dalam pemberontakan dan konflik berdarah. Sedangkan YSP di Yaman lahir dari gerakan nasionalis anti-penjajahan Inggris, dengan warna sosialisme yang khas dunia Arab. Bahkan, banyak ulama dan habaib yang ikut terlibat dalam pemerintahan saat itu—karena memang hanya itulah jalan politik yang tersedia pasca-kolonialisme. Ini bukan soal ideologi mutlak, tapi strategi survival dan perjuangan negara.
Kedua, tidak ada bukti bahwa Haidar al-Attas adalah ateis atau musuh Islam. Ia adalah birokrat, teknokrat, dan tokoh politik. Justru pada masa pemerintahannya, banyak situs-situs Islam dan peninggalan sejarah Alawiyyin di Hadhramaut yang dipertahankan. Ia juga menjadi tokoh penting dalam rekonsiliasi nasional Yaman.
Jadi, menyebut Haidar sebagai "PKI ala Yaman" lalu menggeneralisasi bahwa "kaum Alawiyyin bisa jadi komunis" adalah cara berpikir licik yang penuh dendam ideologis. Apakah jika ada satu keturunan Quraisy yang kafir, lalu semua keturunan Nabi harus ditolak?
Sayangnya, narasi busuk ini dipakai oleh pihak-pihak seperti Imaduddin Usman dkk., yang gemar bermain-main di wilayah manipulasi sejarah dan sertifikasi nasab instan. Mereka gagal mendiskreditkan sanad ilmu para habib, lalu mencoba membentur garis nasab dengan fitnah politik.
Apakah keturunan Ba’alawi harus minta maaf karena satu orang Alawiyyin menjadi politisi di negeri yang penuh konflik?
Kalau begitu, mengapa mereka tidak pernah mempertanyakan jalur-jalur nasab fiktif yang tiba-tiba menyambung ke Bukhara dan Tiongkok dengan penuh klaim tapi minim riwayat?
---
📚 Penutup:
Nasab adalah soal sanad—bukan selera politik. Islam tidak mengenal warisan kebenaran berdasarkan partai, tapi berdasarkan ilmu dan keturunan yang terjaga. Dan sejarah tidak bisa disulap hanya demi memperkuat ego kelompok.
Menyeret nama Haidar al-Attas untuk membusukkan nasab Ba’alawi adalah strategi licik dari mereka yang tidak mampu membuktikan klaimnya sendiri.