Dari Dakwah ke Dangdut: Ketika Nama Walisongo Dipakai, Tapi Ruhnya Ditanggalkan
Senin, 28 Juli 2025
Faktakini.info
Dari Dakwah ke Dangdut: Ketika Nama Walisongo Dipakai, Tapi Ruhnya Ditanggalkan
Oleh: Takmir Angkringan Tamzilul Furqon
Apa jadinya jika nama perjuangan besar seperti Walisongo dan Laskar Sabilillah dipakai untuk ajang hiburan penuh goyang dan sorak sorai? Apakah ini bentuk perjuangan atau hanya pentas pencitraan?
Pelantikan Pengurus Perjuangan Walisongo Indonesia – Laskar Sabilillah (PWI-LS) di Jabodetabek yang digelar pada 27 Juli 2025 di Cilodong, Depok, menjadi sorotan tajam bukan karena keberhasilannya, tetapi justru karena ketiadaan ruh perjuangan yang semestinya melekat pada nama besar Walisongo. Video yang beredar tidak menampilkan semangat dakwah, tak pula terasa wibawa jihad fi sabilillah—justru yang tampak hanyalah panggung hiburan yang menciderai nilai-nilai Islam dan tradisi luhur para wali.
1. Di Mana Ruh Perjuangan Itu?
Mengusung nama Walisongo dan Laskar Sabilillah seharusnya memanggil kita pada keteguhan hati para pejuang Islam, yang lekat dengan kesantunan, keilmuan, dan keberanian membela kebenaran. Namun dalam video yang tersebar, acara pelantikan justru diwarnai goyangan dangdut, urakan, dan sorak-sorai yang menjauhkan makna dari nilai "berjuang di jalan Allah". Tak ada jejak dakwah, tak ada pesan Islam, dan tak tampak aura ruhani. Sebuah kontradiksi yang menyakitkan.
2. Rhoma Irama: Dakwah Atau Dangdut?
Bang Haji Rhoma, yang dahulu dikenal sebagai ikon dakwah melalui musik, tampak berdiri di panggung menyanyikan lagu-lagu perjuangan. Tapi perjuangan yang mana? Lagu itu menggema di tengah suasana yang lebih mirip konser malam minggu ketimbang pelantikan pejuang. Ironis, karena beliau pernah menyampaikan gagasan besar soal moralitas bangsa dan syariat Islam. Kini, ketika menyatakan diri sebagai bagian dari PWI-LS, panggung yang dihadirkan justru tak menghadirkan Islam sebagai poros utama. Bahkan, beberapa pengikutnya yang dulu terkenal vokal dalam membela keadaban justru terseret dalam pusaran euforia dangdut yang membingungkan.
3. Penonton Menjulurkan Tangan—Simbol Apa Ini?
Terlihat para anggota dan simpatisan menjulurkan tangan ke atas panggung untuk bersalaman, seakan sedang berada di konser artis idola. Adakah ini lambang penghormatan pada perjuangan, atau simbol bagaimana perjuangan diposisikan setara dengan hiburan murahan? Ini bukan tentang memusuhi seni, melainkan mempertanyakan: apa pantas panggung perjuangan Walisongo dikaburkan dengan panggung hiburan tanpa arah?
4. Gus Abbas dan Simbolisme yang Terjebak.
Sosok Gus Abbas yang hadir di panggung bahkan tampak kikuk mengikuti irama lagu. Beliau adalah figur yang membawa embel-embel “gus” — simbol keturunan kiai, pewaris pesantren. Tapi keberadaannya di tengah suasana seperti itu hanya menambah kebingungan. Belum lagi para anggota yang memakai blangkon dan pakaian hitam khas Nusantara, namun tidak disertai laku dan adab yang sesuai dengan kesantunan para leluhur. Pencitraan visual menjadi kosong makna bila tidak didukung oleh akhlak dan ruh perjuangan yang sejati.
5. Yang Diimpikan, Tak Seindah Kenyataan
Saat Tabligh Akbar di Malang, Bang Haji pernah menggembar-gemborkan betapa besar dan istimewanya gerakan ini. Tapi pelantikan kemarin justru menunjukkan sebaliknya. Acara tampak tak tertata, sepi kharisma, dan minim tokoh ulama. Tak ada jejak sanad keilmuan, tak ada napas Walisongo yang semestinya menjadi fondasi. Apakah ini sekadar seremoni untuk kepentingan pribadi dan kelompok tertentu?
Walisongo adalah nama besar. Laskar Sabilillah adalah jalan agung. Maka menyandingkan keduanya dalam satu wadah perjuangan bukan main-main. Ia menuntut kesungguhan, ketulusan, dan kesucian niat. Jika ruhnya hilang, yang tersisa hanya panggung kosong dengan nyanyian yang tak memberi arah.
Dan jika hari ini panggung perjuangan hanya menjadi konser, jangan salahkan sejarah bila kelak mencatatnya bukan sebagai puncak kejayaan, tapi justru titik nadir kebingungan identitas.
"Berjuang di jalan Allah itu bukan soal seragam atau sorak sorai—tapi tentang keikhlasan menjaga cahaya para wali agar tetap menerangi zaman."