Petualangan "Belanda Totok": Kaget dengan Budaya Jawa
Petualangan "Belanda Totok": Kaget dengan Budaya Jawa
Pada akhir abad ke-19, seorang pengusaha rokok asal Amsterdam bernama Justus van Maurik melakukan perjalanan ke Hindia Belanda. Saat itu, istilah “totok” digunakan untuk menyebut orang Belanda yang baru datang ke koloni dan belum terbiasa dengan adat setempat. Petualangan Van Maurik, yang tercatat dalam bukunya Indrukken van een Totok (1897), merekam berbagai kekagetan, kejutan, dan renungannya terhadap kehidupan di tanah jajahan.
---
* Kejutan Pertama: Bantal Guling di Kamar Tidur
Begitu tiba di Batavia, Van Maurik disambut oleh seorang pejabat Belanda senior yang telah lama tinggal di Hindia. Malam pertama, saat masuk ke kamar tidurnya, Van Maurik tercengang melihat sebuah benda panjang berbentuk silinder di atas ranjang. Awalnya ia mengira itu adalah tongkat pemukul ular atau alat upacara mistik.
“Apakah benda ini untuk pertahanan diri saat malam?” tanyanya polos.
Barulah saat dijelaskan bahwa itu adalah bantal guling, alat tidur khas orang Jawa yang dipeluk saat tidur, ia tertawa geli sekaligus merasa aneh. Di Belanda, tidur cukup dengan satu bantal kecil di bawah kepala. Namun di Hindia, peluk-pelukan dengan bantal panjang menjadi tradisi turun-temurun.
Van Maurik menulis, “Aku mencoba memeluknya saat tidur, tapi sejujurnya, lebih mirip tidur dengan tubuh orang yang tak berbicara.”
---
* Makan Siang Pakai Nasi dan Sambal Setan
Kejutan berikutnya datang saat jam makan siang. Di Belanda, siang hari diisi dengan roti, keju, atau sup ringan. Tapi di sini, pelayan pribumi menyajikan sepiring nasi putih mengepul, aneka lauk bersantan, dan sambal merah menyala. Ia sempat ragu, tapi demi sopan santun menjajal seporsi nasi rendang.
Begitu sendok pertama sambal masuk ke mulut, ia tersedak, air mata mengalir deras, dan napasnya tercekat. Sambal pedas itu ia sebut sebagai “sambal setan”, karena “rasanya membakar lidah dan tenggorokan seperti api neraka,” tulisnya.
Orang-orang di sekitarnya justru tertawa geli melihat ekspresi kepedasan si Totok.
---
* Monyet Pemanjat Kelapa dan Kuli Gerobak
Perjalanan Van Maurik ke pelosok-pelosok Nusantara menyuguhkan pemandangan yang di matanya eksotis. Di sebuah desa di Padang, ia menyaksikan seekor monyet terlatih memanjat pohon kelapa, memetik buah, dan melemparkannya ke bawah atas perintah tuannya. Pemandangan ini belum pernah ia lihat di Amsterdam.
Namun, di balik itu, ada sisi gelap yang menyentuh batinnya. Saat berjalan di pasar, ia melihat sejumlah kuli pribumi menarik gerobak berat berisi barang dagangan milik pedagang Eropa. Di bawah panas menyengat, mereka berlari kecil, peluh bercucuran, dan napas tersengal.
“Di Belanda, barang seperti ini dibawa dengan kereta kuda atau alat bantu. Di sini, manusia dituntut menjadi alat pengangkut. Dada mereka naik-turun kelelahan, namun tak ada yang peduli,” tulisnya prihatin.
Pengalaman itu menyentuh nurani Van Maurik yang selama ini hanya mendengar cerita tentang Hindia sebagai tanah eksotik penuh rempah dan keindahan.
---
* Rijsttafel: Makan Siang Seperti Raja
Salah satu pengalaman kuliner paling berkesan bagi Van Maurik adalah saat disuguhi rijsttafel di rumah seorang pejabat Belanda. Rijsttafel, atau “meja nasi”, adalah tradisi makan besar dengan belasan hingga puluhan hidangan kecil yang disajikan sekaligus, mulai dari sate ayam, rendang, opor, gulai, acar, hingga aneka sambal.
Ia menulis kagum, “Di meja itu ada lebih dari 25 piring kecil. Warnanya merah, kuning, hijau. Rasa asam, manis, pedas. Seakan seluruh Hindia tumpah ruah di atas meja.”
Namun, di balik pesta itu, para pelayan pribumi berseliweran membawa piring-piring tanpa pernah duduk makan bersama. Hal ini makin menguatkan kesadaran Van Maurik tentang ketimpangan sosial di koloni.
---
* Sirup Asam Jawa yang Segar di Tenggorokan
Di Padang, setelah lelah berjalan kaki, Van Maurik diajak seorang kenalan Belanda mencoba minuman lokal bernama sirup asam Jawa. Minuman dingin berwarna coklat kehitaman itu disajikan di gelas tinggi.
Saat pertama menyesap, ia terkejut. Rasa manis, asam, dan segar berpadu di tenggorokannya. Van Maurik menyebut minuman itu sebagai “penghilang dahaga sejati di negeri tropis.”
---
* Refleksi Seorang Totok
Di akhir catatannya, Van Maurik menulis, “Aku datang ke Hindia dengan anggapan sebagai negeri rempah, eksotisme, dan kemewahan. Tapi aku menemukan negeri yang jauh lebih rumit, keindahan yang dibayar oleh keringat orang kecil, tawa di atas derita para kuli, dan sambal yang lebih panas dari neraka.”
Meski masih terbungkus pandangan orientalis khas Eropa abad ke-19, kisah Van Maurik memberikan gambaran jujur tentang realita sosial-budaya di Hindia Belanda.
---
Sumber Referensi :
- Justus van Maurik, Indrukken van een Totok (1897)
- Ong Hok Ham, Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang (2002)
- Jean Gelman Taylor, Indonesia: Peoples and Histories (2003)
- H.C.C. Clockener Brousson, Het Indische Rijsttafel (1910)
#FaktaSejarah #PetualanganBelandaTotok #JustusVanMaurik #HindiaBelanda #SejarahKolonial #BudayaJawa #Rijsttafel #SambalSetan #CeritaTempoDulu #AsamJawa #SejarahNusantara