Damai Lubis: Prinsip Hukum dan Tragedi Politik Konspirasi Moord KM 50 Haram Dilupakan Seluruh Bangsa Indonesia dan "Penguasa"

 



Sabtu, 7 Juni 2025

Faktakini.info

*_Prinsip Hukum dan Tragedi Politik Konspirasi Moord KM 50 Haram Dilupakan Seluruh Bangsa Indonesia dan "Penguasa"_*

Damai Hari Lubis

Pengamat KUHP (Pengamat Umum Hukum dan Politik)

Prinsip Hukum, bahwa perkara tragedi KM. 50 merupakan peristiwa delik umum dengan kategori materil yang unsurnya delik biasa. Namun delik menjadi "luar biasa karena para pelaku dan penyertanya 'bukan orang biasa' sebab melibatkan aparatur negara". Ini hal fakta disertai data empirik. 

Sehingga penyelesaian hukum amat sederhana, sekedar good will disertai sikap tegas dari Kapolri saat ini (atau kedepan) yang langsung dapat memerintahkan kepada Kepala Bareskrim Polri atau Kapolda Jawa Barat (locus delicti dan atau Kapolda Metro Jaya (surat tugas para pelaku delik), agar segera mengusut motif para pelaku, siapa saja pelakunya (dader/ pleger) dan penyertanya uitlokker/ doen pleger) selanjutnya mengusut menuntaskan kembali penyelidkan dan penyidikan terkait kesemua pelaku moord KM 50 yang ditengarai dilakukan oleh sebagian besarnya adalah aparatur Polri dan selain Kapolri dari sisi strutural dan fungsional menjadikan KM. 50 dan para pelakunya sebagai pertanggungjawaban hukum dan moralitasnya sebagai aparatur teritinggi di Lembaga Polri.

Selanjutnya tinjauan hukum artikel ini hanya terbatas kepada 1 (satu) alat bukti rekaman dalam bentuk "suara rintihan" dari beberapa Korban Moord (pembunuhan berencana) saat hidup atau menjelang kematiannya, akibat penganiayaan "yang katanya" hanya dilakukan oleh Kedua orang Terdakwa/ TDW Pelaku KM.50 yang justru tidak logis mendapatkan vonis bebas onslag (perkara pidana) yang splitsing keduanya di PN. Jakarta Selatan, masing-masing dengan Nomor Register 867/pid.B/2021/PN.Jkt.Sel. Dan perkara yang melibatkan TDW Fikri Ramadhan dengan Register Nomor 868/pid.B/2021 PN.Jkt.Sel. Perkara ini yang TDW nya adalah M Yusmin Ohorella, dimana salah satu bahasan hukum, terhadap bebasnya Para/ kedua TDW tersebut oleh sebab kesalahan atau kelalaian, majelis hakim karena bukti rekaman tersebut secara sengaja 'dilewatkan' pertimbangan hukumnya oleh Para Majelis Hakim (MH) perkara aquo in casu, yang nota bene (semua) Para Hakim merupakan Pembantu Tuhan di Muka Bumi, dan terbukti para hakim _ngeyel_ mengènyampingkan atau melewatkan keberadaan alat bukti 'suara rintihan para korban ', dengan sengaja tidak dijadikan bahan pertimbangan berdasarkan hak progresivitas dengan menggunakan hati nurani (conviction intime)' yang halal menurut KUHAP Jo. UU. Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Fakta hukum adanya peristiwa 'penganiayaan' dengan pola Majelis Hakim 'ngeyel' dimaksud seandainya alat bukti suara rekaman rintihan (kesakitan) dari ke (diantara) 6 orang korban KM.50 oleh tim pemburu (penyidik) "sudah diperdengarkan langsung dihadapan persidangan" ditambah korelasi pertimbangan hukum adanya faktor para TDW lupa membawa borgol sesuai kelengkapan "lazimnya" aparat kepolisian saat bertugas.

Penyebutan hakim 'ngeyel' karena sengaja membandel atau setidak-tidaknya para hakim lalai menggunakan "suara hati nuraninya" atau asas conviction intime, sehingga berlaku tidak adil karena realitas putusan kontradiktif terhadap sistim hukum, terbukti "membebaskan para terdakwa pelaku yang identik temuan kronologi diawali dengan kelengkapan 'Surat Tugas', dalam makna hukum sebagai bentuk adanya gejala perbuatan persiapan (mens rea) sehingga patut diduga korban KM.50 terjadi oleh sebab perbuatan yang sudah direncanakan (moord).

Sedangkan istilah 'tim pemburu' karena pola surveilans (penjejakan/pengintaian) absurd untuk dinyatakan sebagai pengintaian resmi yang biasa dilakukan oleh aparat intel polri (team surveillance) oleh sebab fakta hukum, terbukti berakhir dengan kematian 6 orang dengan unsur "Kesengajaan atau ofzet", dan nyata para korban yang diburu tidak memiliki catatan kriminal, namun dapat dipastikan "para pemburu" menggunakan kelengkapan surat tugas,   sehingga logika hukumnya Para Terdakwa Aparat Pembantai nyawa 6 manusia di KM 50 harus mendapatkan vonis hukuman, setidak-tidaknya mendapat vonis 'akibat lalainya menimbulkan kematian', dan lalai menurut asas culfa, dapat dikenakan sanksi hukuman penjara paling lama sepertiga dari ancaman hukuman pokok Jo. Pasal 359 KUHP.

Maka sepatutnya diketahui oleh majelis hakim peristiwa korban kematian tersebut bukan oleh sebab kondisi berat lawan atau keterpaksaan (noodweer, jo pasal 49 KUHP) terlebih bukan adanya faktor over macht, jo pasal 48 KUHP melainkan sebuah fakta peristiwa akibat unsur sengaja diintai lalu ditangkap kemudian dianiaya sampai mati.

Atau "pembantaian" terhadap 6 korban moord (Jo pasal 340 KUHP) hingga tewas, dalam istilah lain disebut 'unlawful killing' karena terbukti dilakukan oleh aparat yang secara resmi atas perintah hukum,  melaksanakan eksekusi terhadap terpidana mati atau bukan aparat dalam melakukan pembunuhan dalam kondisi terpaksa atau oleh sebab berat lawan merujuk Pasal 338 Jo. Pasal 48 Jo. Pasal 49 KUHP.

Sehingga vonis onslag atau bebas oleh sebab peristiwa hukum atas dasar noodweer atau kondisi terpaksa bukan merupkan putusan yang berkepastian hukum, tidak bermanfaat, dan bukan cermin keadilan.

Big question, apa langkah hukum andai oleh sebab hukum ternyata rekaman suara rintihan dari korban KM. 50 belum diperdengarkan dimuka persidangan?

*_Jawaban hukumnya_*: Oleh sebab hukum JPU atas nama kuasa dari Jaksa Agung dapat melakukan upaya hukum luar biasa melalui herziening, atau peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung RI.

Lalu apa yang dapat dilakukan andai ternyata "Suara Rekaman Rintihan" sudah diperdengarkan di hadapan Majelis Hakim di muka persidangan?

*_Konsul hukumnya adalah:_* Mengacu pada Pasal 108 KUHAP secara substansial maka demi hukum pihak keluarga korban atau publik (eksternal keluarga) atau masyarakat memiliki hak membuat pelaporan baru atau pengaduan baru kepada pihak penyidik Bareskrimum Mabes Polri atau Direskrimum Polda Jabar, terhadap Penerbit Resmi Perintah Tugas Surveilans termasuk penguasa tinggi di negara ini yang disobedient serta pastinya seluruh nama-nama dalam surat tugas, wajib turut dilaporkan disertai semua temuan dugaan alat bukti hukum.

Sesuai keberlakuan asas legalitas, pelaporan/ pengaduan baru dapat menghidupkan kembali serta melibatkan kembali para eks terdakwa lama (yang divonis bebas noodweer) walau vonis telah inkracht namun tidak berlaku asas ne bis in idem atau tertolak argumentatif penolakan atas dakwaan didasari ketentuan hukum, "bahwa pelaku tindak pidana tidak dapat dituntut dalam perkara yang sama lebih dari satu kali". Oleh sebab hukum adanya pelaporan kembali dikarenakan masih ada subjek hukum pelaku penyerta pembunuhan yang belum diproses hukum berdasarkan temuan bukti lama dan bukti baru dan termasuk kesaksian dari ahli independen, serta terhadap eks TDW yang vonis onslag telah ditemukan bukti lainnya yang justru telah melakukan kebohongan terhadap penyidik dan majelis persidangan terkait peristiwa hukum yang sebenarnya, bahkan lebih berat namun baru terungkap dalam korerasi penyertaan (delneeming) dengan para terduga pelaku lainnya yang ada dalam surat tugas maupun tidak termasuk dalam surat tugas pengintaian (surveilans) namun turut serta. Sehingga sah terhadap kedua orang eks TSK/ eks TDW Brigadir Satu Polisi Fikri R dan Inspektur Dua M. Yusmin O. terlibat bisa jadi kembali berstatus TSK/ TDW dalam kasus yang sama namun beda perkara dan beda waktu.

Bahkan dalam perspektif hukum, terhadap tuntutan JPU kelak atas laporan baru/pengaduan susulan atau atas dasar good will atau kesadaran para aparatur kelak yang berkualitas, tidak tertutup kemungkinan, tuntutan hukuman akan lebih tinggi dari yang pernah dituntut oleh JPU kepada eks TDW yang mendapat vonis onslag, karena pertimbangan MH sebagai perbuatan noodweer amat keliru dan patut diduga kuat dilakukan dengan latar belakang kejahatan politik hukum oleh penguasa tinggi (konspirasi) dan faktor penegakan hukumnya transparansi anomali,, tidak pure berdasarkan hukum.

Kesimpulan, kejahatan unlawful killing di Tol Cikampek KM 50 merupakan moord (Pasal 340) yang sepatutnya justru pelaku terduga adalah "Para Aparatur",  maka ada penambahan pemberatan ancaman sanski hukuman Jo. pasal 52.KUHP. selebihnya kejahatan sadis ini memang tidak layak dilupakan oleh seluruh Bangsa Indonesia, oleh sebab kejahatan unlawful killing KM 50, merupakan sejarah buruk penegakan hukum tanah air (The Bad History of Law Enforcement in the Republic of Indonesia) terlebih ditengarai kuat moord yang dilakukan sebagai wujud puncak politik konspirasi dalam ruang lingkup kejahatan HAM dengan level kejahatan extra ordinary crime. Sehingga *_tragedi KM 50 merupakan perilaku bengis di era rezim dibawah kepemimpinan JOKOWI 'THE KING OF LIP SERVICE', sehingga bisa menjadi momentum dan simbol kebangkitan makna kalimat bijak Soekarno 'Jas Merah' oleh penguasa negara saat ini yang perlu dituntaskan demi misi fungsi hukum yang Bermanfaat terhadap Kepastian Hukum dan Hakekat Rasa Keadilan_*

Pengamat adalah:

● Anggota Dewan Penasihat DPP. KAI.

●● Kabid Hum & HAM KWRI.

●●● Koordinator TPUA.