ADA JOKOWI DAN OLIGARKI DI BALIK GESER 4 PULAU ACEH? PEMBUSUKAN PRABOWO, LAGI?
Kamis, 12 Juni 2025
Faktakini.info
ADA JOKOWI DAN OLIGARKI DI BALIK GESER 4 PULAU ACEH? PEMBUSUKAN PRABOWO, LAGI?
Oleh Edy Mulyadi, Wartawan Senior
Tak ada hujan angin, tanpa babibu, tiba-tiba Mendagri Tito Karnavian meneken SK. Isinya; pemindahan empat pulau dari Aceh Singkil ke wilayah administrasi Sumatera Utara. Publik terhenyak. Rakyat Aceh terhentak.
Ini bukan sekadar soal batas wilayah. Ini adalah alarm bahaya. Bakal terjadi konflik horizontal pun bisa membayang. Apakah ini bagian dari upaya pembusukan pemerintahan Prabowo dari dalam oleh sisa-sisa kekuatan lama?
Di luar soal potensi konflik, kita bisa membaca ada motif bisnis rakus di balik manuver ini. Polanya cukup jelas. Sangat khas oligarki: pelintiran regulasi dan justifikasi administratif. Diikuti dengan manuver penguasaan sumber daya atas nama pembangunan.
Sedikitnya ada lima hal yang patut dicurigai ada motif bisnis dari gaduh Permendagri Tito ini. Pertama, potensi Sumber Daya Alam yang Tinggi. Empat pulau ini tidak kosong. Mereka menyimpan potensi laut, tambang, dan pariwisata luar biasa. Begitu wilayah ini resmi berada di bawah kendali Sumatera Utara, jalan untuk eksploitasi akan terbuka lebar. Tak perlu berhadapan dengan Aceh yang punya kekhususan dalam pengelolaan sumber daya (dengan dasar MoU Helsinki dan UU Pemerintahan Aceh). Regulasi bisa dilonggarkan. Jalur perizinan dipercepat. Dan, keuntungan bisa langsung dinikmati pihak yang punya akses kekuasaan.
Kedua, Bobby Nasution adalah Gubernur Sumatera Utara. Lebih dari itu, dia adalah menantu Jokowi. Selama 10 tahun kekuasaannya, Jokowi menjadikan proyek atas nama hilirisasi sebagai ladang kekayaan. Jika empat pulau itu resmi menjadi bagian Sumut, Bobby akan memiliki kendali langsung atas proyek-proyek strategis yang menyusul. Tambang, pelabuhan, kawasan industri, hingga pariwisata eksklusif. Dinasti politik Jokowi dan atau mitra oligarkinya bisa dapat lahan baru untuk bermain.
Ketiga, sebagai Mendagri mustahil Tito tidak tahu Aceh memiliki status daerah istimewa. Jika itu tetap dilakukan, kuat diduga ini bukan lagi persoalan teknis administratif. Ini keputusan politis. Dan karena Tito adalah loyalis Jokowi, sangat masuk akal jika publik menduga ini bagian dari skenario tersembunyi. Menyulut kegaduhan dan memancing resistensi rakyat. Ujung-ujungnya merusak legitimasi pemerintahan baru di bawah Prabowo.
Keempat, proses pemindahan dilakukan tanpa konsultasi dengan rakyat Aceh. Tanpa pelibatan DPRA. Tak ada sosialisasi terbuka. Jelas ini agenda sepihak. Siapa yang diuntungkan? Pasti bukan rakyat. Tapi elite yang lebih dulu tahu. Lebih dulu siap. Lebih dulu menanam modal. Siapa lagi kalau bukan oligarki yang duitnya memang tak berseri?
Kelima, ada pola lama: Negara digunakan untuk kepentingan keluarga. Kasus ini mengingatkan kita pada Rempang, Wadas, Konawe, Morowali, Maluku Utara, hingga IKN. Wilayah publik dialihkan ke tangan elite lewat jalur negara. Selalu atas nama pembangunan. Selalu dengan dalih nasionalisme. Dan selalu berakhir pada kerugian dan menderitanya rakyat.
Kalau empat pulau ini dipindahkan ke Sumut, ada potensi rakyat Aceh melawan. Jika ini terjadi, maka Jokowi dan para loyalisnya harus bertanggung jawab atas konflik yang mereka ciptakakan. Di sinilah bahayanya. Tindakan Tito bisa memicu kemarahan rakyat Aceh, yang merasa wilayahnya dirampas. Konflik bisa terjadi antara rakyat Aceh dan aparat. Bukan mustahil bisa melebar jadi konflik horizontal antarwarga.
Kalau itu terjadi, citra Prabowo yang baru menjabat bisa rusak seketika. Tentu saja ini bukan kebetulan. Ini bisa bagian dari jebakan politik yang dirancang oleh mereka yang belum rela kehilangan pengaruh di pemerintahan.
Apakah Prabowo akan diam saja? Atau, jangan-jangan dia justru sedang dijebak jadi kambing hitam? Kambing hitam dari permainan lama yang belum selesai? Waduhhh...!
Jakarta, 11 Juni 2025