Damai Lubis: Bocoran bakal vonis Hasto
Ahad, 18 Mei 2025
Faktakini.info
"Bocoran bakal vonis Hasto"
Damai Hari Lubis
Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
Hasto Kristiyanto, Sekjen PDIP hampir berkepastian akan mendapat vonis sanksi hukuman, karena dalam pengamatan Penulis, Majelis Hakim melulu tidak objektif atau selalu tergambar adanya keberpihakan, tidak berkesesuaian dengan tujuan fungsi hukum, yakni kepastian hukum (legalitas).
Gejala-gejala hukum apa yang dapat dilihat ?
Karena pada saat sidang berjalan Majelis Hakim nampak masih kental dalam koridor "politik kekuasaan", tidak pure atas nama demi hukum
Apa argumentasi hukumnya?
Bahwa, sejak saat pra penyidikan, sampai dengan perkara persidangan Terdakwa Hasto, tokoh pelaku (DPO) Harun Masiku, belum pernah di BAP dan andaipun ada, hanya bukti berupa putusan inkracht, dari eks terpidana (Terdakwa) mantan anggota KPU RI Wahyu Setiawan/WS, namun isi putusannya justru meniadakan keterlibatan Hasto, karena dalam pertimbangan vonis terdapat klausula hukum yang menyatakan, " Terdakwa WS, tidak memiliki kausalitas hukum dengan Hasto, Terdakwa tidak pernah menerima uang (gratifikasi) dari Hasto, selain dari Harun Masiku langsung kepada diri Terdakwa".
Namun publis secara transparan, kembali muncul peristiwa hukum yang aneh, setelah KPK menetapkan Hasto TSK, KPK masih memanggil WS? Apakah KPK tidak pahami bahwa putusan inkracht tersebut tidak bisa lagi dianulir? Tak dapat ditukang-tukangi oleh pihak manapun selain oleh JPU atau WS melalui upaya Peninjauan Kembali (herziening) atas dasar Novum.
Selanjutnya, pada saat acara pra peradilan (Prapid), nyata-nyata Hasto melayangkan prapid nya yang kedua, karena dalam KUHAP tidak ada larangan Prapid untuk lebih dari satu kali, terlebih, dalam putusan Prapid yang pertama (13/2/ 2025) di PN. Jakarta Selatan, Hakim dalam putusannya hanya menyatakan, "sependapat dengan pendapat eksepsi Kuasa Hukum KPK, bahwa materi permohonan prapid kabur tidak jelas (obscur)", karena ada dua objek permasalahan dalam permohonan prapid yang diajukan Hasto, satu adalah gratifikasi (suap) yang satunya adalah perintangan hukum (obstruction of justice). Selain, bahwa Hakim Tunggal Prapid, dalam putusannya (13/2/2025) tidak atau bukan menyatakan "bahwa penetapan status TSK terhadap pemohon Prapid (Hasto) telah memenuhi prosedur hukum (KUHAP)"
Oleh sebab hukum, Hasto kembali mengajukan Prapid dalam bentuk 2 Surat Permohonan Prapid (14/2/ 2025) yang pertama menyangkut status hukum atas tuduhan penyidik KPK tentang obstruksi dan yang kedua tentang gratifikasi
Namun nyatanya sejarah hukum membuktikan, bahwa Hakim Tunggal Prapid, justru memutuskan menolak kedua Prapid Hasto dengan menyatakan gugur 2 (dua) Permohonan Prapid yang diajukan Hasto (yang kedua kalinya) yang didaftarkan pada 14/2/2025, dengan alasan hukum, JPU. KPK sudah mendaftarkan objek perkara pidana terhadap Terdakwa Hasto di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, tentu saja hal fenomena penolakan hukum Prapid ini menyimpang daripada sistim hukum yang berlaku, dikarenakan Hasto mendaftarkan prapid pada 14 Februari 2025, sementara KPK baru mendaftarkan perkara Hasto di lembaga peradilan pada 7 Maret 2025. Lalu jika dihubungkan dengan putusan MK Prapid akan dinyatakan gugur, oleh sebab dakwaan sudah dibacakan oleh penuntut umum (JPU), lalu selain dan selebihnya menurut hukum, penolakan kedua permohonan Prapid Hasto, oleh PN. Jakarta Selatan, bertentangan dengan putusan MK yang satu kali dan berlaku mengikat, bagai undang-undang (Final and binding)
Kemudian terdapat gejala gejala fenomena saat persidangan yang berlangsung di Pengadilan Tipikor Di Jakarta Pusat, dakwaan JPU KPK terhadap Hasto tidak cermat, terbukti JPU menulis KUHAP dalam surat dakwaan dengan kata KUHP. Maka seharusnya sesuai pasal 143 KUHAP dakwaan ini gugur, Hasto harusnya demi kepastian hukum harus dibebaskan dari dakwaan JPU, dan surat dakwaan nyata-nyata telah melanggar pasal 144 KUHP. Karena surat dakwaan seharusnya dirubah atau diperbaiki sebelum persidangan dibuka dan terbuka untuk umum, dan perubahan atau perbaikan surat dakwaan tersebut, harus disampaikan salinannya oleh JPU Hakim Pengadilan, dan Terdakwa atau kuasa hukum Terdakwa sejak 7 hari sebelum surat dakwan dibacakan.
Bahkan demi kepastian hukum terhadap pelaksanaan Undang-Undang RI No. 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP Jo. Asas Fiksi Hukum, dengan makna "semua orang dianggap tahu akan keberadaan sistim hukum dan perundang-undangan termasuk pasal-pasal larangan dan atau keharusan berikut ancaman sanksi hukum yang ada di dalam semua sistim hukum dimaksud
Maka prinsip perspektif dan logika hukumnya? Bahwa sekalipun tanpa adanya eksepsi dari Terdakwa atau Tim Kuasa Hukumnya, Hakim Majelis Tipikor, seharusnya berdasarkan pasal 143 KUHAP memberikan putusan sela (tussenvonis), menyatakan dakwaan gugur karena surat dakwaan JPU kabur tidak cermat (obscuri libelli), untuk itu Terdakwa Hasto Bebas demi Hukum
Oleh sebab barometer gejala-gejala penegakan hukum yang ada, maka penulis dapat memastikan bahwa kepastian hukum terhadap putusan majelis hakim pengadilan Tipikor Jakarta Pusat diyakini bakal absurd untuk didapatkan, sebaliknya Terdakwa Hasto akan dinyatakan bersalah dan dihukum. Sekalipun masyarakat Para Sahabat Pengadilan (friend of court) menyampaikan artikel hukum 'cantik' kepada para hakim yang menyidangkan perkara Hasto dalam bentuk kemasan Legal Opinion amicus curiae
Kesimpulannya, karena tujuan fungsi hukum tidak ditegakkan oleh pelaksananya (law behavior) dengan serius, maka jangan berharap Kepastian Hukum dan Rasa Keadilan akan didapatkan oleh Hasto dan keluarganya, sahabat-sahabatnya atau masyarakat peduli hukum, karena sejak awal dan dalam perjalanan proses hukum a quo in casu, indikasi terhadap kepastian hukum yang semata-mata harus merujuk rule of law, kenyataannya tidak difungsikan, justru terindikasi telanjang, ada aroma politik hukum dan kekuasaan dibalik tuntutan hukum terhadap Hasto yang kini menjadi pesakitan.