BRIGJEN SUPARJO: 1948 IKUT MENUMPAS PKI MADIUN, 1965 MENJADI GEMBONG G30S/PKI
Ahad, 5 Oktober 2025
Faktakini.info
1948 IKUT MENUMPAS PKI MADIUN
1965 MENJADI GEMBONG G30S/PKI
Brigjen Mustafa Syarief Suparjo meniti karier militer sebagai tentara Divisi Siliwangi. Ia dikenal sebagai jago tempur dan ahli taktik yang pernah merepotkan pihak Belanda. Pada tahun 1948 ia juga ikut serta menumpas pemberontakan PKI di Madiun.
Pada awal tahun 1960-an, Suparjo menjabat sebagai Danrem Priangan di Garut. Ia membantu penumpasan DI/TII Kartosuwiryo dengan ikut menjalankan operasi Pagar Betis. Dalam operasi ini, ia banyak dibantu oleh para anggota PKI yang militan. Dari situlah awal mula kedekatan Suparjo dengan PKI yang dulu pernah menjadi lawannya.
Pada tahun 1965 Suparjo mulai berkenalan dengan Syam Kamaruzzaman, kepala Biro Khusus PKI yang ditugasi D.N. Aidit untuk membina para tentara yang berhaluan kiri. Hubungan mereka makin akrab dan sering terlibat diskusi bersama.
Suparjo yang naik pangkat menjadi brigjen kemudian ditugaskan menjadi panglima komando tempur II Ganyang Malaysia di perbatasan Kalimantan-Serawak. Mayjen Suharto pernah mengunjunginya.
Pada 28 September 1965 Suparjo menerima telegram dari istrinya bahwa anak bungsu mereka sakit keras. Suparjo segera pulang ke Jakarta. Ternyata yang meminta istri Suparjo mengirim telegram adalah Syam Kamaruzaman. Syam ingin Suparjo ikut serta dalam Gerakan 30 September.
Pada 29 September 1965 Suparjo melapor kepada Laksdya Omar Dhani selaku Panglima Komando Mandala Siaga bahwa sebelum 1 Oktober 1965 dia sudah kembali ke Kalimantan. Dia juga menceritakan akan ada aksi pembersihan terhadap para jenderal AD yang tidak setia. Maka, Omar Dhani memintanya tetap di Jakarta sampai 3 Oktober 1965 agar bisa ikut rapat dengan Presiden Sukarno.
Pada 30 September 1965 Suparjo bergabung di Lubang Buaya sesuai permintaan Syam. Karena pangkatnya paling tinggi, ia langsung didapuk sebagai wakil komandan. Suparjo melihat persiapan pasukan belum matang, tapi Syam bersikeras aksi harus tetap dijalankan, tidak boleh mundur lagi.
Pada 1 Oktober 1965 Brigjen Suparjo ditugaskan Syam untuk meminta restu pada Presiden Sukarno. Bukannya merestui, Sukarno justru marah mendengar kematian para jenderal dan memerintahkan agar aksi dihentikan. Suparjo kembali ke markas G30S. Ia menawarkan diri untuk mengambil alih pimpinan demi menghadapi serangan balasan dari Nasution-Suharto-Umar tetapi tidak diperbolehkan oleh Syam.
Setelah G30S bubar, para gembong berpencar. Suparjo menjadi buronan yang paling lama ditangkap. Pangkodam Umar Wirahadikusumah membentuk Satgas Kalong untuk menangkapnya. Suparjo yang ahli strategi dapat lolos berkali-kali, hingga akhirnya ia baru tertangkap saat Lebaran tahun 1967.
Suparjo diajukan ke Mahmilub dan dijatuhi hukuman mati. Menurut kesaksian Menteri Oei Tjoe-tat, Suparjo terlihat jantan, tidak mau diistimewakan meskipun berpangkat brigjen. Jika mendapat kiriman makanan dari keluarganya, selalu dibagi-bagi dengan para tahanan yang lain.
Suparjo dieksekusi mati pada 1970. Pada malam terakhir ia membersihkan kamar sel dan toiletnya, mengumandangkan azan dan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Sedangkan Syam Kamaruzaman, orang yang mengajaknya bergabung dengan G30S baru dihukum mati pada 1986.
