Dukungan untuk Abraham Samad: Ujian bagi Kewarasan Publik

 



Kamis, 14 Agustus 2025

Faktakini.info

Tamzilul Furqon 

“Dukungan untuk Abraham Samad: Ujian bagi Kewarasan Publik”

Ketika puluhan emak-emak berpanas-panasan di depan Polda Metro Jaya sambil membawa poster dan teriak “Jaga Orang Baik!”, saya melihat sesuatu yang lebih besar daripada sekadar dukungan kepada satu orang. Ini adalah cermin: apakah publik kita masih punya keberanian menjaga suara kritis, atau kita rela membiarkannya dibungkam atas nama “aturan” yang lentur?

Abraham Samad, mantan Ketua KPK yang rekam jejaknya jelas pernah mengguncang para koruptor, kini berada di tengah pusaran kasus yang ramai dibicarakan. Banyak tokoh—dari aktivis HAM, mantan pejabat, hingga akademisi—ikut mengawal. Di dunia maya, petisi dukungan pun berseliweran. Pertanyaannya: apakah semua ini hanya soal membela individu, atau membela prinsip yang lebih agung?

---

Ketika Aturan Menjadi Karet

Hukum itu seperti pagar: fungsinya melindungi. Tapi pagar yang lentur bisa dibentuk sesuai selera siapa pun yang memegangnya. Bahayanya, jika pagar mulai digunakan untuk mengurung burung yang bernyanyi, lama-lama kita akan hidup di taman yang sunyi—indah tapi mati.

Di sinilah dukungan kepada Abraham menjadi simbol. Bukan sekadar membela dia, tapi mengirim pesan bahwa “jangan sampai pagar hukum dipakai untuk membatasi kebebasan berbicara yang bertanggung jawab.”

---

Suara Publik adalah Vitamin Demokrasi

Suara kritis, kalau sehat, justru memperkuat demokrasi. Seperti vitamin yang kadang pahit di lidah, tapi menjaga tubuh tetap waras.
Masalahnya, sebagian orang di negeri ini lebih suka menelan manisan daripada vitamin—walau setelah itu darah tinggi datang diam-diam.

Kita harus berani menerima pahitnya kritik. Karena kalau kritik dibungkam, yang tersisa hanyalah tepuk tangan palsu. Dan itu, saudara-saudara, bukan demokrasi… itu teater.

---

Kenapa Publik Harus Ikut Bicara

Jangan berpikir ini urusan mereka yang terkenal saja. Hari ini Abraham Samad, besok bisa siapa pun yang suaranya tak nyaman didengar penguasa. Bahkan mungkin Anda, saya, atau siapa saja yang mencoba berkata “ada yang salah di sini.”

Publik perlu bicara bukan untuk membela tokoh, tapi membela ruang bernapas kita bersama. Dukungan dalam bentuk aksi damai, petisi, atau sekadar percakapan warung kopi adalah tanda bahwa nalar publik belum mati.

---

Penutup

Abraham Samad boleh saja menghadapi proses hukum—itu hak negara. Tapi rakyat juga punya hak mengawal, memastikan bahwa hukum ditegakkan dengan rasa keadilan, bukan sekadar formalitas.

Sebab jika kita membiarkan hukum menjadi alat membungkam, maka kita semua sedang menggali lubang untuk mengubur masa depan kebebasan berbicara di negeri ini.