Rumail Abbas: Menelusuri Sayyid Ahmad Al-Jufri dan Hubungannya dengan NU

 


Senin, 28 Juli 2025

Faktakini.info

Rumail Abbas

Saya tulis ulang transkrip Lora Ismael dan Oying dari naskah di bawah ini:

وقعت الجمعية الانتظامية في لنغر جعكيبون بحضور رئيس جمعية نهضة العلماء الشيخ هاشم أشعري وعبد الوهاب وحضر من أهل [الـ]بلاد القاضي محمد صداقة والسيد أحمد الجفري وغيرهم من الأعيان وذلك ليلة الأربعاء رابعةَ ذي الحجة المباركة سنة ١٣٤٩ 

(Terjadi rapat konsolidasi di Langgar Jàngkèbuàn dihadiri Rais Jam’iyyah Nahdlatul Ulama, Syaikh Hasyim Asy’ari dan Kh. Abdul Wahhab [Chasbullah]. Hadir pula para pembesar dari penduduk daerah, di antaranya Al-Qāḍī Muhammad Ṣadāqah, Sayyid Ahmad Aljufri, dan lain-lain. Hal itu terjadi pada malam Rabu, tanggal 4 Dzulhijah, tahun 1349 H)

Berbeda dengan Lora Ismael yang menulis kolofon bertitimangsa "4 Dzulhijjah 1349 H" di bawah ini terjadi pada 30 April 1931 M, saya menduga peristiwa ini lebih tepat jika terjadi pada 22 April 1931 M (berdasarkan tanggal konversi yang dilakukan koran-koran untuk Muktamar V & VI Nahdlatul Ulama).

Jadi, peristiwa yang dicatat dalam kolofon ini terjadi di Bengkalan, tujuh bulan setelah Muktamar Ke-V di Pekalongan, dan terjadi empat bulan sebelum Muktamar ke VI di Cirebon.

Siapa Kiai Taha? Saya tidak tahu. Karena ini naskah temuan Oying, tentu ia lebih tahu.

Kemudian, siapa Al-Qāḍī Muhammad Ṣadāqah?

Pada De Indische Courant yang diterbitkan 30 Maret 1936, ia disebut sebagai "de luitenant-titulair der Chineezen" yang jika diterjemahkan verbatim berarti: Letnan Tituler dari komunitas Tionghoa di Bangkalan (lihat gambar 2)

Pada tanggal yang sama, pada koran Soerabaiasch Handelsblad (lihat gambar 3), nama Haji Ṣadāqah tidak disebut eksplisit, namun gelar kehormatannya tertulis sebagai salah satu pembicara dalam acara pernikahan Bupati Bangkalan, mewakili komunitas Tionghoa dengan sebutan "de gewezen Luitenant titulair der Chineezen" (mantan Letnan Tituler orang Tionghoa).

Gelar ini sama seperti gelar milik Khouw Tjeng Kee (w. 1883), seorang Cindo (Cina-Indonesia) yang menetap di Batavia sebagai tokoh Tionghoa lokal dan pernah memegang gelar kehormatan tersebut, namun tanpa tugas administratif praktik.

Lantas, siapa Ahmad Al-Jufri Effendi (dalam gambar 2 & 3)?

Beliau mewakili komunitas Arab di Bangkalan (secara implisit Ahmad Al-Jufri adalah orang yang sama dengan Said Aldjoeffrie Effendi), yang di saat itu memberikan sambutan (atau ucapan selamat?).

Saat saya riset di Jakarta, saya ketemu beberapa habaib dan masyaikh sepuh untuk bertanya banyak hal, salah satunya ialah diaspora komunitas Hadrami era kolonial. Tibalah saya pada pencarian historiografi Hadrami pasca Operasi Kraai pada Desember 1948.

Untuk memulihkan administrasi pasca Revolusioner 1945, Belanda membentuk “Parliament of Central Java” atau Dewan Perwakilan Wilayah (Provincial People's Representative Council of Central Java), terhitung sejak 23 Februari 1949, dan salah satunya ialah wilayah Jawa Tengah.

Dewan ini bersifat sementara, bertugas sebagai perwakilan rakyat setempat sekaligus lembaga legislatif di bawah struktur RIS (Republik Indonesia Serikat). Banyak anggotanya berasal dari politisi lokal, tokoh priyayi (elit tradisional Jawa), serta unsur komunitas katolik, nasionalis, atau partai lokal dalam struktur RIS.

Nah, salah satu komunitas yang diikutsertakan sebagai Anggota Dewan Perwakilan Rakyat untuk wilayah Jawa Tengah adalah masyarakat Arab. Ada tujuh kandidat yang dipilih (gambar 4):

- Taha Alhabsi,

- Ja'far Abbad

- Muhammad Afif

- Umar Al-Musawa

- Salim Abdulkadir

- Ahmad Al-Jufri 

- Ali Mahrus

Dan polling menetapkan Muhammad Afif sebagai Anggota DPRD Jawa Tengah di bawah RIS yang terpilih mewakili komunitas Arab.

Dari beberapa ahli waris yang saya wawancarai, dengan meminta beberapa bukti materiel keluarga, nama Ahmad Al-Jufri yang menjadi kandidat di atas adalah Ahmad bin Anis Al-Jufri orang yang sama yang menjadi perwakilan masyarakat Hadrami di Bengkalan, ia hijrah ke Brebes, kemudian menjadi politisi bersama RM. Soemarjo.

Dan besar kemungkinan Ahmad bin Anis Al-Jufri inilah yang ditulis Kiai Taha bersama Hadlratus Syaikh Hasyim Asy'ari dan Mbah Wahab Hasbullah sewaktu menggelar diskusi di Bangkalan (saya menduga untuk urusan Muktamar), yang akan diselenggarakan empat bulan ke depan di Cirebon.

Pertanyaan yang sangat menarik sebenarnya bukan itu, tapi...

...kenapa Al-Qāḍī Muhammad Ṣadāqah, sebagai pembesar tokoh Tionghoa Bengkalan, ikut serta dalam konsolidasi bersama Rais Akbar Nahdlatul Ulama?

Ini hanya analisis pribadi. Jika ada Al-Jufri Bangkalan yang punya sandaran historis yang baik, saya siap sowan ke Bengkalan untuk menelusuri hal tersebut (atau kontak-kontakan lewat WA). Karena beberapa inbox menyebutkan bahwa Ahmad Al-Jufri di dalam kolofon di gambar 1 adalah Ahmad bin Zain bin Husain Al-Jufri, pemuka Hadlrami Bengkalan asal Mekkah yang berkawan dengan HOS Tjokroaminoto (bahkan membantunya sewaktu ditahan Belanda).

Wallahu a'lam.