Mujaddid atau Mujadil? Ketika Rhoma Irama Terlalu Cepat Mengangkat Derajat imad bin Sarman

 




Selasa, 22 Juli 2025

Faktakini.info

Mujaddid atau Mujadil? Ketika Rhoma Irama Terlalu Cepat Mengangkat Derajat Kiai Imaduddin

Oleh: Tamzilul Furqon 


Saat Raja Dangdut berubah jadi Raja Tafsir Nasab dan Akidah—pertanyaannya: siapa yang benar-benar butuh diperbaharui di dunia Islam hari ini, ajarannya atau logika pengikutnya?

Pernyataan Rhoma Irama dalam Tabligh Akbar di Malang pada 19 Juli 2025 yang menyebut Kiai Imaduddin Usman sebagai “Mujaddid dunia Islam sedunia” bukan hanya menimbulkan gelombang kontroversi, tapi membuka luka lama tentang otoritas keilmuan yang dipaksakan naik pangkat tanpa kredensial. 

Dalam dunia akademik Islam, klaim besar membutuhkan bukti besar. Dan dalam hal ini, yang lebih besar justru tanda tanyanya. Apakah kita sedang menyaksikan kelahiran Mujaddid, atau sekadar fatamorgana dari syair-syair khilaf yang diberi nada tabligh?

Ketika Nada Tinggi Tak Mewakili Ketinggian Ilmu

Mari kita mulai dari sumber masalah: Kitab Fikrah An-Nahdiyah, karangan Kiai Imaduddin. Sekilas tampil islami, bersampul Nahdliyin, tapi—seperti yang telah dikritik secara tajam oleh Lora Muhammad Ismael Al Kholilie dan banyak jebolan pesantren lainnya—isi kitab tersebut ternyata “mengutip” (baca: copy-paste) materi dari website Wahabi. 

Bukan hal baru memang, banyak karya plagiat berseliweran. Tapi saat yang diplagiat adalah ideologi dan kemudian dibungkus sebagai representasi pemikiran NU, di situlah muncul persoalan etika keilmuan dan kejujuran akademik.

Dalam tradisi ulama klasik, menulis adalah amanah, bukan seperti konten TikTok. Menyusun kitab berarti menggali, menimbang, menyaring, lalu menyampaikan dengan integritas ilmiah. Sayangnya, Fikrah An-Nahdiyah ini justru diduga penuh tambalan dari narasi Wahabi—yang secara nilai dan metodologi sangat jauh dari manhaj Ahlussunnah wal Jamaah ala NU. 

Hal ini menimbulkan pertanyaan: bagaimana mungkin seseorang yang "dipromosikan" sebagai Mujaddid justru tertangkap sedang menyelipkan faham yang selama ini menjadi kontra-wacana di lingkungan pesantren?

Salah Baca Manuskrip, Salah Tafsir Nasab

Pernyataan Kiai Imad tentang Syajarah Al-Mubarokah—yang katanya manuskrip ke-5 atau 6 dan dikarang oleh Imam Fakhruddin Ar-Razi—adalah sebuah kesalahan yang... ya, terlalu fatal untuk seorang yang mengklaim diri sebagai peneliti nasab. Tidak hanya salah tahun, salah tokoh, tapi juga salah konteks.

Menurut penelusuran dari Nyai Raden Ayu Lina II (yang dijuluki "Ratu Nasab Indonesia"), pernyataan Kiai Imad itu memperlihatkan betapa dangkalnya pemahaman beliau terhadap disiplin ilmu nasab. Fakta bahwa Syajarah Al-Mubarokah bukan karya Imam Fakhruddin Ar-Razi bahkan dapat diverifikasi dengan mudah oleh mahasiswa semester awal jurusan Sejarah Peradaban Islam—apalagi oleh para pengkaji nasab lintas generasi. 

Maka jika pondasi tesisnya saja rapuh, bagaimana mungkin kita bisa mengharapkan bangunan keilmuan yang kokoh?

DNA: Ilmu atau Alat Pukul Ideologis?

Menariknya lagi, Kiai Imad diketahui menggunakan Family Tree DNA sebagai "senjata" untuk menggugurkan nasab para Saadah Ba’alawi. Ini semacam menggunakan Google Translate untuk menerjemahkan kitab kuning—praktis, cepat, dan... fatal.

Tes DNA dalam konteks silsilah keilmuan Islam bukanlah hujjah, melainkan hanya metode bantu yang sangat bergantung pada basis data dan interpretasi. Bahkan situs FamilyTreeDNA sendiri menyebut bahwa sampel utamanya berasal dari manusia purba, yang tentu tak relevan untuk memverifikasi nasab para habib. 

Lagi-lagi, kritik tajam dari Nyai Raden Ayu Lina memperjelas bahwa pendekatan ini tak lebih dari sekadar ‘fancy science’ yang ditarik-tarik agar tampak berwibawa, padahal cacat dari logika awal.

Rhoma Irama: Ketika Gelar Tak Menyelamatkan Penilaian

Dan di sinilah letak ironi terbesar. Seorang Rhoma Irama—ikon musik dakwah, legenda panggung yang mengangkat tema moral dan spiritualitas lewat syair—menyatakan dengan lantang bahwa Kiai Imad adalah Mujaddid dunia Islam. Padahal, definisi Mujaddid sendiri dalam Islam tidak hanya soal semangat reformasi, tapi keutuhan sanad keilmuan, ketajaman intelektual, dan kejernihan akhlak dalam menyampaikan kebenaran.

Sayangnya, Rhoma Irama terlihat sangat sembrono. Beliau juga menyebut Habib Taufiq hanya dengan nama "Taufiq", dan menyebut Habib Luthfi bin Yahya tanpa kehormatan gelar.

Dalam kultur pesantren, ini bukan sekadar kekhilafan, tapi refleksi dari sikap yang jauh dari tawadhu’—dan bisa mencerminkan kesombongan yang terselip di balik retorika. Atau barangkali memang seperti itulah hasil dari terlalu lama memadukan orkestra dakwah dengan narasi dominasi.

Akhir Kata: Jangan Jadikan Mimbarmu Cermin Dirimu

Tentu tulisan ini bukan untuk mencemooh pribadi—tapi mengingatkan bahwa ketika mikrofon sudah di tangan, dan ribuan orang mendengarkan, maka tanggung jawabnya bukan main-main. Menobatkan seseorang sebagai Mujaddid bukan perkara ringan. Butuh ijtihad kolektif para ulama lintas mazhab, bukan klaim emosional di atas panggung tabligh.

Islam hari ini bukan kekurangan tokoh populer—tapi kekurangan tokoh yang jujur, tekun, dan sungguh-sungguh mendalami ilmu agama dengan hati yang bersih. Karena itulah, sebelum kita terlalu semangat mengangkat panji Mujaddid baru, ada baiknya kita cuci dulu kaca mata—agar bisa membedakan mana ulama, mana penjual gelar.

Wallāhu a‘lam bis-shawāb.