Damai Lubis: Reuni bukan peristiwa hukum sebagai alat bukti Ijazah Asli dan tidak menjadikan ijazah palsu menjadi asli.

 



Sabtu, 26 Juli 2025

Faktakini.info

Reuni bukan peristiwa hukum sebagai alat bukti Ijazah Asli dan tidak menjadikan ijazah palsu menjadi asli.

Damai Hari Lubis

Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum & Politik)

Tentunya kebenaran atau keaslian Ijazah atau tanda kelulusan seseorang siswa bukan oleh sebab ikut serta pada acara reuni sekolah atau reuni alumni sebuah perguruan tinggi, namun para peserta reuni selain memiliki bukti "Ijazah Asli", juga dilatar belakangi telah melewati atau sudah mengikuti semua kewajiban studi sebagai siswa, terdaftar sebagai siswa karena lulus seleksi, absen kehadiran, membayar SPP. Pada tingkatan SD. SMP SMA atau Uang Kuliah pada tingkat Perguruan Tinggi, dan menyelesaikan program yang diwajibkan, seperti: mengikuti ulangan/ mengikuti ujian dan atau 'ujian her' dan lulus ujian dan berbagai tanda tanda yang bersifat umum lainnya. Diantaranya; memiliki foto jelang wisuda, punya album foto (calon) peserta wisuda, foto foto saat wisuda dan memiliki tanda pembayaran peserta wisuda dan lain- lainnya.  

Sehingga irrelevant dari sisi kaca mata hukum, jika peristiwa reuni dikaitkan sebagai bukti keaslian Ijazah yang dimiliki seseorang.

Oleh karenanya oleh sebab hukum, terkait pencaharian bukti yang berhubungan dengan keaslian sebuah Ijazah, prosesnya mesti melulu menggunakan metodelogi sesuai petunjuk asas legalitas yaitu ketentuan hukum acara yang berlaku.

Dan proses hukum yang dilakukan harus berkeadilan sejak saat dimulainya proses perkara pada tingkat penyelidikan-penyidikan karena hasilnya untuk kepentingan pasal pasal yang bakal ditetapkan di dalam Surat Dakwaan dan Penuntutan dan kebutuhan proses persidangan serta termasuk untuk segala pertimbangan hakim majelis menuju vonis putusan.

Begitu pula vonis putusan didapatkan dari proses persidangan dan pemeriksaan semua barang bukti dan para saksi yang dihadirkan oleh Pihak Terdakwa (a de charge), dan saksi Korban Pelapor (a charge) dan para ahli berikut pengakuan para Terlapor. Kesemua para penegak hukum yang hadir dan berkompeten dalam persidangan (JPU. Para Pengacara Terdakwa dan para hakim) dituntut berlaku objektif demi kebenaran materil atau kebenaran yang sebenar-benarnya. Tidak boleh punya niatan dan kehendak dan strategi Terdakwa atau para terdakwa harus dihukum.

Kesemua pihak yang terlibat dalam proses hukum, termasuk panitera pencatat, harus teliti, objektif, sistematis, terstruktur jujur benar dan adil, andai fakta hukum Terdakwa tidak bersalah maka pihak Terdakwa harus dibebaskan demi kepastian (legalitas), manfaat (utilitas) hukum dan rasa keadilan (justice).

Karena vonis putusan dari hasil persidangan di lembaga peradilan sesuai ketentuan hukum terdapat beberapa jenis putusan:

1. Terdakwa Terbukti Bersalah;

2. Terdakwa Tidak Terbukti bersalah;

3. Terdakwa Sesuai Fakta Hukum Terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan namun bukan perbuatan tindak pidana;

4. Dakwaan lebih dulu mendapat putusan sela yang isinya bahwa Tuntutan berdasarkan dakwaan adalah prematur, karena ketergantungan kepada vonis perkara lainnya (perdata dan atau pidana) yang harus lebih dulu mengikat (inkracht) sebelum perkara persidangan yang sedang berlangsung digelar;

Adapun makna hukum selain putusan pra peradilan, yakni tentang 'Putusan Sela' adalah putusan dari Hakim terkait pemenuhan proses perkara yang harus memenuhi persyaratan formil yang andai tidak atau belum dipenuhi oleh pihak JPU.

Artinya putusan sela adalah menyangkut hukum pidana formil (tata cara proses perkara yang wajib dipenuhi) dan keberadaan putusan sela dari Hakim oleh sebab eksepsi dari pihak Terdakwa, yang keberatan karena pelaksanaan Penyidikan dan atau dakwaan tidak berkesesuaian dengan KUHAP sehingga putusan belum memasuki materi pokok perkara. 

Dalam perkara pidana, putusan sela tentang prematur mengacu pada keputusan hakim yang menyatakan bahwa dakwaan atau gugatan yang diajukan belum memenuhi syarat formil atau belum saatnya untuk diperiksa lebih lanjut di pengadilan. Ini berarti bahwa perkara tersebut dianggap belum memenuhi syarat untuk diadili, karena ada cacat formil atau tidak tepat atau tidak berkesesuaian dalam tahapan proses atau dengan kata lain prosedur proses dalam beracara harus dipenuhi terlebih dahulu merujuk KUHAP bukan justru melanggar KUHAP.  

Bahwa perkara pidana yang dicari oleh para penegak hukum yang terlibat di dalam sebuah perkara di persidangan yang digelar di badan peradilan (Pengadilan Negeri), dan penegak hukum selaku penentu vonisnya adalah Para Hakim, *_kesemuanya tidak boleh berprinsip harus dapat menghukum Terdakwa atau kebalikannya,_* namun harus mencari dan mendapatkan putusan yang berkepastian serta berkeadilan, semata karena berdasarkan faktor kebenaran yang sebenar-benarnya kebenaran atau materiele waarheid.

Penutup dan Kesimpulan, oleh karenanya seandainya proses perkara yang bermula dari pihak Penyelidik-Penyidik Polri sudah melenceng dari sistim hukum atau tidak berkeadilan, maka jangan harapkan keadilan dapat ditemukan. Terkecuali para hakim yang mengadili perkara serius dan sungguh sungguh secara profesional, proporsional, objektif dan mandiri dan semua pertimbangan dari para hakim harus berkepastian hukum, bermanfaat dan berlaku adil-seadilnya, bahkan jika terpaksa Para Hakim boleh dan halal menggunakan hari nurani (conviction intime) sesuai KUHAP dan UU. Kekuasaan Kehakiman.