Damai Lubis: KM 50 Aksi "Turun Rame-Rame" atau Pengadilan HAM Tanah Air atau ICC di Belanda?

 



Senin, 9 Juni 2025

Faktakini.info

*_KM 50 Aksi "Turun Rame-Rame" atau Pengadilan HAM Tanah Air atau ICC di Belanda?_*

Damai Hari Lubis

Pengamat KUHP (Pengamat Umum Hukum dan Politik)

*_(Solusi alternatif: Hukum Pidana Islam (Syar'i) juga dikenal bentuk "musyawarah" antara Keluarga Korban dan Pelaku)_*

Prinsip Hukum, bahwa perkara tragedi KM. 50 merupakan peristiwa delik umum dengan kategori formil dan materil yang unsurnya delik biasa, sehingga secara hukum tidak perlu adanya pengaduan dari pihak 6 orang keluarga korban yang meninggal dunia. Adapun kausalitas hukum terhadap proses perkara sebelumnya, andai ternyata didapati banyaknya faktor temuan (baru) yang tidak digunakan sebagai alat bukti oleh penyidik, sehingga proses hukum yang pernah dilakukan tidak memenuhi syarat formil (KUHAP). Sehingga luput dijadikan Para Terdakwa/ TDW oleh JPU serta alat bukti sebelumnya dan atau yang baru tidak menjadi pertimbangan hukum oleh majelis hakim dalam vonisnya.

Metode penyelesaian hukumnya dalam melanjutkan proses hukum KM. 50 sebenarnya amat sederhana, polanya, cukup melalui Kapolri saat ini (atau kelak) memerintahkan kepada Kepala Bareskrim Polri atau Kapolda Jawa Barat (locus delicti) atau Kapolda Metro Jaya, sesuai lokus surat tugas terhadap para pelaku delik, agar segera mengusut kembali motif para pelaku sehingga tuntas siapa saja pelaku penyertanya, terlebih pelaku moord KM 50 berdasarkan data empirik ditengarai sebagian besar pelakunya adalah aparatur Polri (tanggung jawab moralitas Kapolri). 


Selebihnya oleh sebab keberadaan temuan alat bukti baru yang tertinggal atau belum terungkap, maka yang dapat kembali melaporkannya selain cukup perintah Kapolri, demi hukum adalah:


1. Pihak keluarga korban;

2. Masyarakat umum yang menemukan temuan berdasarkan fungsi sosial kontrol dalam rangka hukum 'Peran Serta Masyarakat' Jo. Pasal 108 KUHAP.

   

Sehingga vonis onslag (bebas lepas) sebelumnya, karena dilakukannya pembunuhan tersebut, atas dalil keterpaksaan (emergency) para petugas karena kondisi noodweer atau over macht bukan merupakan putusan yang berkepastian hukum, karena realitasnya kontradiktif, karena justru 6 para aparat pelaku yang memburu serta dilengkapi alat persenjataan dan amunisi lengkap, berikut borgol dan terkait jumlah tim intai, sesuai "teori surveilans", ideal berjumlah 8 atau 9 kali lipat dari yang diintai, atau minimal 5 banding 1, artinya justru pemburu berjumlah 40 atau 45 orang, atau minimal 30 orang, serta tim pemburu logikanya adalah para anggota yang sudah terlatih untuk melumpuhkan lawan. Kenapa malah Petugas pengintai yang tersudut lalu terpaksa membantai. Illogic!  


Bahwa proses hukum laporan atau pengaduan baru atas perkara adalah tidak melanggar asas ne bis idem karena didasari asas legalitas vide Pasal 108 KUHAP dan asas hukum proses pidana (KUHAP) yang semata harus berdasarkan kebenaran yang sesungguhnya (materiele waarheeid), sehingga tepat korelasi hukumnya dengan pelaporan baru oleh sebab adanya temuan bukti baru yang kuat mengarah kepada pelaku TSK yang bukan kedua TDW lama yang sudah mendapat vonis inkracht. 


Hal temuan baru dimaksud dapat berupa alat bukti benda atau surat atau keterangan dan atau pengakuan dari para TSK Baru, termasuk menunjukkan terhadap "kedua orang TDW 'lama' yang vonisya inkracht, ternyata kontradiksi dari hasil penyidikan 'baru' atau tidak sesuai surat dakwaan dan tuntutan serta pertimbangan majelis hakim dipersidangan 'lama', seolah dilakukan dalam kondisi terpaksa". 


*_Tinjauan perspektif lebih dalam dari sisi Sistematika Hukum Pidana dan Peran Serta Masyarakat_*

 

Berdasarkan keterangan dan alat bukti temuan baru dimaksud, justru berkepastian laporan dan penyidikan baru akan melibatkan para eks TDW yaitu Brigadir Satu Polisi Fikri R dan Inspektur Dua M. Yusmin O, dan atas dasar hukum keduanya bisa kembali berstatus TSK/ TDW dalam kasus yang sama namun beda waktu dan nomor register perkara, serta keduanya serta seluruh para TSK Baru, oleh sebab jabatannya sebagai aparatur Polri, mesti ada faktor pemberatan ancaman sanski hukuman, jo. Pasal 52 KUHP. Bukan mendapatkan vonis bebas (onslag). Karena andai pun secara hukum disebabkan faktor lalai, tentunya asas culfa (Pasl 359 KUHP) menentukan, *_"oleh sebab lalainya mengakibatkan orang meninggal dunia, maka hukumnya dikurangi!sepertiga dari ancaman pokok hukuman". Dalam hal ini ancaman hukuman pokok pada Pasal lainnya kejahatan unlawful killing di Tol Cikampek KM 50 yang merupakan MOORD yakni perbuatan dengan Agenda Rapat atau melalui perencanaan (sengaja dan berencana) jo. Pasal 340 KUHP, serta seluruh pelaku terduga dilengkapi surat penugasan (tugas) dan jabatannya adalah "Para Aparatur (negara) Polri".


Sementara analogi perbuatan Tim Pemburu KM 50 ini kategori state of crime, wujud Kejahatan HAM Berat, selebihnya kejahatan sadis ini memang tidak layak dilupakan oleh seluruh Bangsa Indonesia. Bahkan ada proses penanganan dan badan peradilannya di tanah air namun absurd diharapkan pelaksanaannya.


Bahkan terhadap Kejahatan HAM yang retro aktif ini, ada khusus Mahkamah Internasional/ MI yang untuk proses hukumnya, namun apakah publik (keluarga korban) memilki asas legalitas yang mendukung (support system) di negara ini sejarah Jo. Terkait sejarah hukum Jenewa (Hukum Humaniter Internasional/ HHI), atau mahkamah internasional khusus perkara pidana (International Criminal Court/ICC) apakah NRI ikut manjadi anggota ICC? Agar perkara Kejahatan HAM berat yang dilakukan Para TDW aparat ini sah diajukan dan digelar serta dituntut di MI yang berkedudukan di Negara Belanda tersebut?


Atau, jika belum ada, 'bakal' realistis kah pihak penguasa di tanah air yang bakal indikasikan gejala-gejala politik hukum berupa "support system" dimaksud melalui keputusan diskresi kebijakan politik (policy politics) penguasa negara atau 'government political policies'?


Andai upaya mahkamah domestik dan MI tersebut impossible, maka oleh sebab kejahatan KM.50 ini tindak kriminal luar biasa (extra ordinary crime) berupa kejahatan umum yang sejatinya merugikan kepentingan umum bangsa dan negara. Apakah perlu langkah ideal yang prioritaskan "upaya hukum luar biasa" *_Aksi Nyata Peran Serta Mayarakat dalam bentuk "Turun Rame Rame" tanpa batasan jumlah orang dan tanpa jumlah hari sesuai payung hukum_* Jo. UU Nomor 9 Tahun 1998. Dibanding hanya sifatnya menunggu proses hukum yang tidak berkejelasan dari sisi jurisdiksi HAM dalam negeri dan atau Luar negeri (MI) yang baru sekedar cita-cita dan penuh penantian? 


Dan turun rame rame dibutuhkan disebabkan identitas pelakunya adalah aparatur dan sejarah penegakan hukum oleh para aparatnya juga buruk (The Bad History of Law Enforcement in the Republic of Indonesia). Sehingga wujud Tragedi Kejahatan KM. 50 identik terhadap puncak penerapan "teori konspirasi September 1965". 


Dan menurut hemat penulis selaku pengamat tidak kah lebih efektif dengan menerapkan Peran Serta Masyarakat yang konstitusional, yakni berupa aksi TURUN RAME-RAME mendesak Kapolri agar melakukan perbuatan hukum, menerbitkan surat perintah kepada jajaran aparatur dibawahnya demi tegaknya hukum yang berkepastian, untuk segera melakukan pengusutan ulang terhadap unlawful killing *_tragedi KM 50 yang merupakan perilaku bengis di era masa lalu, rezim dibawah kepemimpinan JOKOWI 'THE KING OF LIP SERVICE'._*


Sehingga makna Hakekat Rasa Keadilan yang diharapkan oleh rakyat yang dijamin oleh hukum untuk ditegakkan (rules & behavior factor) dan mesri diikuti melalui penegakan hukum sesuai cita-cita bangsa secara komprehensif, karena eksistensi hukum merupakan prioritas untuk menekankan bahwa penegakannya tidak boleh berdiri sendiri, tetapi harus selalu diarahkan untuk tegaknya keadilan dan perlindungan disemua sektor dan prinsipnya kesemuanya demi meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan pendapat teori keadilan ini sesuai adagium yang berasal dari ahli hukum dan filosof Cicero dalam bukunya De Legibus; "Salus Populi Supreme Lex esto". 


Dan bukankah Turun Rame-Rame selain berpayung hukum juga dari sisi Kebebasan dan HAM atau pola pikir demokrasi biasa didengungkan dengan makna "Suara Rakyat adalah Suara Tuhan" (Vox populi vox dei) serta dari sisi teologi (agamis) hakekatnya merupakan amal makruf nahimunkar?


Pengamat adalah:

● Anggota Dewan Penasihat DPP. KAI.

●● Kabid Hum & HAM KWRI

●●● Pakar Hukum Tata Ilmu Peran Serta Masyarakat dan Kebebasan Menyampaikan Pendapat

●●●● Koordinator TPUA.