Ceramah Sekte Imad Sepi Peminat Karena Monoton dan Sentimen Terhadap Habaib

 





Rabu, 28 Mei 2025

Faktakini.info, Jakarta - Di tengah maraknya kegiatan dakwah di Indonesia, kehadiran penceramah dengan materi yang menarik, mendalam, dan menyentuh hati masyarakat menjadi kebutuhan utama umat. 

Namun, tidak semua kelompok dakwah mampu memenuhi ekspektasi tersebut. Salah satu contohnya adalah kelompok yang dikenal sebagai "Sekte Imad Bim Sarman,", kelompok orang-orang gila nasab yang ceramah-ceramahnya kurang diminati publik.

Ceramah yang disampaikan oleh tokoh-tokoh dari kelompok Begal Nasab ini cenderung monoton dan berfokus pada isu yang sempit, yakni seputar nasab dan silsilah, khususnya dalam konteks menyerang nasab para habaib. Mereka tidak mengajarkan peribadatan agama Islam dan lainnya. Materi yang sempit dan kurang relevan dengan problematika umat saat ini membuat ceramah mereka tidak menarik bagi mayoritas masyarakat.

Sayangnya, alih-alih melakukan evaluasi dan peningkatan kualitas dakwah, kelompok ini justru kerap menunjukkan sikap yang bernada iri terhadap para habaib—keturunan Nabi Muhammad SAW—yang dikenal luas di Indonesia sebagai tokoh agama yang dihormati, dicintai, dan sering diundang dalam berbagai kegiatan keagamaan, seperti ceramah dan acara sholawatan.

Fenomena popularitas para habaib rupanya menimbulkan reaksi negatif dari kelompok ini. Alih-alih mengambil hikmah dan menjadikan hal itu sebagai motivasi untuk memperbaiki diri, mereka justru terkesan menyalahkan para habaib atas sepinya minat terhadap ceramah mereka sendiri. Bahkan muncul seruan boikot terhadap para habaib, serta tindakan yang tak jarang menimbulkan polemik di tengah masyarakat.

Padahal, rezeki dan popularitas dalam dakwah bukanlah semata karena nasab. Banyak dai yang bukan berasal dari keturunan Rasulullah SAW mampu diterima luas oleh umat karena ilmu, akhlak, dan cara penyampaian mereka yang menyentuh hati. 

Sebut saja KH. Zainuddin MZ dengan ceramah populernya di era 90-an, atau Ustadz Abdul Somad yang digemari lintas kalangan hingga kini. Mereka tidak pernah mencatut nasab mulia ataupun mengaku-aku keturunan wali, namun mampu berdakwah secara luas karena kualitas dan keikhlasan mereka.

Akhirnya, penting untuk diingat bahwa keberhasilan dalam dakwah bukan ditentukan oleh garis keturunan semata, namun oleh ketulusan hati, keluasan ilmu, dan keindahan akhlak dalam menyampaikan risalah. Daripada menyebarkan kebencian dan menciptakan konflik, alangkah baiknya semua pihak kembali pada esensi dakwah: mengajak kepada kebaikan dengan hikmah dan nasihat yang baik.